Salam Ukhuwah, Jalin Silaturahim, Share Ilmu dan Saling Berbagi Informasi

Senin, 09 Mei 2011

Kajian Pendidikan Komparatif : Kebijakan Privatisasi Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu masalah yang bersifat universal. Semua orang tanpa terkecuali sangat berkepentingan dalam pendidikan. Pendidikan juga merupakan suatu hak yang harus diterima baik melalui sekolah maupun luar sekolah. Bagi orang dewasa pendidikan merupakan kebutuhan dasar dalam rangka mengembangkan kemampuan untuk hidup dan berkarya. Mereka semua membutuhkan semua layanan pendidikan secara proporsional. Sehingga pendidikan merupakan segmen kehidupan yang menjadi kebutuhan publik. Dan untuk melayani kebutuhan publik bagi semua golongan anak dan orang dewasa serta semua lapisan sosial, maka negara sesuai amanat konstitusi berkewajiban menyusun instrumen kebijakan dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar masyarakatnya, yakni pendidikan.

Kebijakan pendidikan menurut Cornoy (1982) merupakan bagian dari kebijakan negara (state policies). Sebagai sebuah produk dari negara, kebijakan pendidikan dipengaruhi dan dilatarbelakangi oleh suatu kepentingan politik tertentu serta harus mendapatkan dukungan politik dari sebanyak mungkin kekuatan politik yang ada. Dukungan politik itu dikenal dengan istilah legitimasi.

Kebijakan pendanaan pendidikan yang berisi menambah atau mengurangi anggaran juga dipengaruhi oleh kepentingan politik dari pengambil keputusan serta membutuhkan persetujuan (legitimation) dari segenap kekuatan politik ataupun kehendak kosntitusi. Bila pengambil keputusan beserta segenap kekuatan politik memandang penting perlunya menaikkan anggaran untuk perbaikan mutu pendidikan, maka pendanaan pendidikan tentu akan meningkat. Namun sebaliknya, jika mereka lebih tertarik kepada bidang lain dan kurang peduli terhadap peningkatan mutu pendidikan, maka pendanaan pendidikan tidak akan mendapatkan porsi lebih baik.

Dalam sejarah pembangunan pendidikan di Indonesia, sektor pendidikan selalu kurang mendapat prioritas pembangunan. Menurut Mohtar Mas’oed (1997) pada masa Orde Lama prioritas pembangunan terletak pada sektor politik, dan pada masa Orde Baru prioritas pembangunan terletak pada sektor ekonomi. Sedangkan pada era reformasi menurut banyak pengamat, semua sektor kehidupan bersifat stagnan. Oleh karena itu sektor pendidikan yang didalamnya menyangkut pendanaan pendidikan masih belum mendapatkan perhatian politik yang memadai.

Kebijakan politik pendidikan pada umumnya terlahir melalui suatu proses 3 tahap, yaitu akumulasi, artikulasi dan akomodasi. Kebijakan politik pendidikan yang dilakukan dengan cara tidak melalui proses wajar sebagaimana telah disebut, pada akhirnya akan menghadapi problem legitimasi. Program legitimasi tersebut biasanya berwujud penolakan masyarakat terhadap kebijakan yang telah diputuskan, atau paling tidak mendapat respon apatis dari masyarakat, sehingga kebijakan itu menjadi illegitimated. Setelah diformulasikan, maka kebijakan pendidikan tersebut diimplementasikan yang kemudian dimantapkan (Linblom dalam Oberlin Silalahi, 1989).

Masing-masing tahap yaitu formulasi, implementasi dan pemantapan memiliki proses yang berbeda yang ketiganya bisa berlangsung secara dialektis. Kebijakan pendidikan terutama dalam hal pendanaan umumnya berisi penetapan sejumlah anggaran yang digunakan untuk membiayai seluruh program kegiatan di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional dengan menggunakan skala prioritas tertentu. Program kegiatan mencakup kegiatan peningkatan mutu, pemerataan, efisiensi, peningkatan peranserta masyarakat, dan akuntabilitas pendidikan baik jalur sekolah maupun luar sekolah.

Dalam kenyataannya, sebagai sebuah produk politik kebijakan pendidikan --terlepas dari penilaian positif atau negatif-- selalu mengandung muatan kepentingan. Kepentingan terpenting dan utama adalah seberapa banyak pihak-pihak pengambil keputusan beserta orang-orang yang masuk kedalam lingkaran penguasa menikmati sebesar mungkin keuntungan atas kebijakannya, seberapa besar kebijakan pendidikan yang diformulasikan dan diimplementasikannya dapat memperkokoh bahkan jika perlu melanggengkan kekuasaannya. Sehingga banyak ahli mensinyalir bahwa apapun rumusannya dan bagaimanapun implementasinya, kebijakan pendidikan selalu dimaknai dan dimanfaatkan untuk kepentingan politik yang lebih besar dari pemegang kekuasaan. Bahkan Gramsci menunjuk dalam banyak kasus bahwa negara telah memanfaatkan pendidikan sebagai kekuasaan hegemonik dalam rangka melanggengkan kekuasaannya (Patria dan Arief, 1999).

Sebagaimana dipaparkan diatas, bahwa pendanaan pendidikan di Indonesia sangat terbatas. Total anggaran pendidikan Indonesia hanya sebesar 1,4% terhadap GNP atau 7,9% dari APBN pada tahun 1995-1997. Sedangkan total anggaran pendidikan di negara-negara maju yang dianggap telah memiliki sistem pendidikan yang mapan, telah mengeluarkan anggaran pendidikan jauh lebih besar. Hasil studi International Development Research Centre (IDRC, 1983) menyebutkan bahwa negara-negara maju (developed countries) umumnya telah membelanjakan dana cukup besar untuk pendidikan, yakni rata-rata 21,3% dari national budget mereka, sementara pada negara-negara sedang berkembang (developing countries) rata-rata hanya membelanjakan 16,3% dari national budget. Hal ini menjadi sangat ironis jika banyak negara telah berlomba meningkatkan anggaran pendidikannya sampai diatas 20% dari national budget.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Syukron