Salam Ukhuwah, Jalin Silaturahim, Share Ilmu dan Saling Berbagi Informasi

Selasa, 10 Mei 2011

Analisis Sederhana Mengenai Permasalahan BBM di Kabupaten Berau

(Menyikapi Hasil Kesimpulan Pembicaraan Pemda Kab. Berau, DPRD dan Pihak Terkait Lainnya)

“BBM’s deficit constitute moral problem that did by some people which have no sensed accountability which impacted to all party”

Permasalahan BBM dan Konsekuensi UU Migas

Tanggungjawab penyediaan BBM memang berada di tangan Pertamina. Namun, kondisi kemampuan produksi migas dan BBM tidak sepenuhnya berada di tangan Pertamina. Hal ini berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas, Pertamina tidak memiliki lagi kekuasaan untuk mengatur pemegang kontrak “Production Sharing”. Sebab, kewenangan tersebut sudah berada di tangan BP Migas. Sementara kedudukan Pertamina sama dengan pemegang kontrak, namun masih harus dibebani dengan kewajiban menyediakan BBM untuk kebutuhan dalam negeri. Dengan kondisi tersebut, Pertamina pasti mengalami kesulitan untuk berupaya memacu produksi migas dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam negeri. Namun, kelangkaan dan kekacauan distribusi juga tidak bisa dikatakan sebagai kesalahan Pertamina. Sebab, masalah produksi BBM yang terkait dengan subsidi juga berkaitan dengan kelancaran pendanaan dari Pemerintah yang harus diserahkan kepada Pertamina untuk memproduksi BBM. Jika masalah pendanaan tersebut tidak lancar atau seret atau mengalami stagnan, maka akan menyebabkan kemampuan produksi BBM oleh Pertamina akan terganggu. Inilah yang juga menjadi salah satu faktor atau gejala timbulnya kelangkaan BBM seperti sekarang ini? masalah pendanaan dari Pemerintah yang dikenal dengan sebutan “subsidi”.

Pemerintah, dalam hal ini termasuk juga Pertamina, masih belum mampu menunjukkan “Performance” usahanya secara efisien, apalagi menunjukkan kinerjanya sebagai “World Class Company”. Pertamina selama ini masih digelayuti oleh berbagai politik kepentingan (Vested Interest), sehingga tidak transparannya dalam memberikan gambaran secara tuntas dan jelas kepada publik mengenai berapa “Cost” produksi BBM, serta belum dapat meningkatkan efisiensi dalam proses produksi penyediaan BBM, sehingga biaya produksi BBM menjadi tinggi dan harga jualnya pun menjadi lebih mahal alias melambung tinggi. Seperti syair lagu yang pernah dinyanyikan bang Iwan Fals, “…BBM membumbung tinggi… BBM naik tinggi susu tak terbeli, orang pintar tarik subsidi, mungkin bayi kurang gizi…”

Analisis Sederhana Permasalahan BBM di Kabupaten Berau

Populasi penduduk Kabupaten Berau mencapai 177.444 jiwa (berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010). Terhitung kurang lebih 80% seluruh penduduknya memiliki kendaraan roda dua pribadi dan sekitar 40% masyarakat Berau memiliki kendaraan roda empat pribadi ( ini tidak termasuk kendaraan milik perusahaan). Jika diakumulasikan secara sederhana, penggunaan BBM jenis premium –dalam hal ini Bensin sebagai penggerak utama kendaraan– rata-rata pemakaian untuk hitungan 1 unit kendaraan roda dua hanya berkisar kurang lebih 1 minggu pemakaian dengan menghabiskan 4 liter bensin (rata-rata pengisian full-nya dalam 1 unit kendaraan roda dua hanya 4 liter). Kemudian, jika dalam hitungan 1 bulan, rata-rata pemakaian bensin untuk 1 unit motor hanya menghabiskan sekitar 16 liter/bulan (jika pemakaiannya rutin setiap hari). Yang jadi pertanyaan adalah, berapa banyak pemakaian BBM berjenis bensin untuk kendaraan roda dua yang ada di Kabupaten Berau dalam hitungan pemakaian perbulannya, yang setiap hari jumlah kendaraan roda dua tersebut semakin meningkat? Kalkulasi sederhananya adalah, misalkan jumlah kendaraan roda dua sebanyak 5.000 unit, maka rata-rata pengeluaran/pemakaian bensin perbulannya berkisar sekitar 80.000 liter atau 80 kiloliter (ton).

Lalu, bagaimana dengan akumulasi pemakaian BBM untuk kendaraan roda empat (mobil)? Hitungan sederhananya lagi adalah, misalkan 1 unit mobil rata-rata berat isi bahan bakarnya mencapai sekitar 40-45 liter (full), jika digenapkan menjadi 40 liter. Jadi, untuk 1 unit mobil dengan kapasitas tangki minyak 40 liter, maka rata-rata penggunaannya hanya sekitar 1-2 minggu saja (jika mobil tersebut digunakan/dipakai setiap hari). Itu artinya, jika dalam hitungan 1 bulan, rata-rata 1 unit mobil bisa menggunakan 80 liter bahan bakar (bensin)/bulan. Lalu, bagaimana kalau misalkan jumlah kendaraan roda empat (mobil) tersebut dihitung dalam jumlah sebanyak 500 unit. Kalkulasi sederhananya adalah, 500 unit mobil dapat menghabiskan bensin sekitar 80 kiloliter (ton) perbulannya. Hitungannya sama dengan kalkulasi kendaraan roda dua diatas.

Kemudian, bagaimana dengan jenis kendaraan lain yang bahan bakarnya juga menggunakan bensin jenis premium, misalkan mesin ketinting, mesin speed boat dll. Untuk mesin ketinting misalnya, jika 1 unit mesin ketinting (digunakan setiap hari), maka pemakaiannya –biasanya– hanya sekitar 1 minggu, dengan berat isi 4 liter (full). Pertanyaannya, bagaimana jika jumlah mesin ketinting tersebut mencapai 100 unit, berapa rata-rata pemakaian bahan bakar yang digunakan dalam hitungan 1 bulan? Kalkulasi sederhananya adalah, 100 unit mesin ketinting rata-rata pemakaian bahan bakar –bensin– mencapai sekitar 1,600 liter atau sama dengan 1,6 kiloliter (ton). Itu artinya, 100 unit mesin ketinting menghabiskan sekitar 1,6 ton bensin perbulannya (jika dipakai setiap hari). Jumlah kalkulasi dari rincian sederhana tersebut, dapat di tabelkan sebagai berikut:

No.-Jenis Kendaraan--Jml (Unit)--Jml Pemakaian (Bensin)--Jenjang Waktu
1. Roda dua--5.000--80.000--1 bulan
2. Roda empat--500--80.000--1 bulan
3. Mesin Ketinting--100--1.600--1 bulan
Jumlah--5.600--161.600

Berdasarkan data dan informasi yang didapat dari beberapa sumber? Pemasukan BBM jenis premium untuk Kalimantan Timur dari Pertamina telah mengalami jumlah yang sangat signifikan karena sudah sesuai dengan kebutuhan dan standarisasi permintaan. Memang jika melihat dari penjelasan oleh Unit Pemasaran VI Pertamina Balikpapan yang memprediksi bahwa krisis bahan bakar minyak (BBM) jenis premium maupun solar terjadi diseluruh kota dan kabupaten di Kalimantan pada akhir 2010 kemarin hingga awal 2011 ini. Suplay pasokan BBM di Kalimantan sudah nyaris melampaui ambang kuota. Itu artinya awal 2011 ini tidak ada lagi pasokan BBM”, ini disampaikan oleh Asisten Manager Relationship Pertamina Upms Balikpapan, Bambang Irianto. (Lihat : Tempo Interaktif, Kamis, 23/09/2010). Bambang juga mengatakan sisa kuota premium di Kalimantan Timur itu sebanyak 131.666 kiloliter dengan rata-rata konsumsi setiap bulannya mencapai 444.188 kiloliter. Ini berarti kuota premium untuk Kalimantan Timur sudah habis pada akhir 2010 kemarin karena pasokannya sudah tidak ada. Adapun kuota solar untuk Kalimantan Timur, hanya tersisa sekitar 32.643 kiloliter dari total kuota sebanyak 171.984 kiloliter dengan rata rata konsumsi per bulannya mencapai 17.959 kiloliter. Dengan asumsi ini sisa pasokan solar Kalimantan Timur dipastikan sudah habis dan tidak ada lagi untuk akhir tahun 2010 kemarin.
Tentu hal ini menjadi polemik yang menakutkan bagi masyarakat khususnya masyarakat Berau –sebagai konsumen– yang dimana setiap hari jumlah kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat semakin meingkat.

Berdasarkan analisis hemat saya, salah satu faktor terjadinya kelangkaan BBM di Kabupaten Berau adalah dikarenakan gejala kurangnya “Fought Out” dari Pemerintah Daerah dan DPRD dalam menanggulangi permasalahan BBM ini. Terjadinya kelangkaan BBM sebenarnya sudah sekian lama, sudah bertahun-tahun, namun karena tidak ada tindakan serius sehingga masalah ini terus berlarut-larut.

Dari hasil kesimpulan pembicaraan antara Pemerintah Daerah Kabupaten Berau, DPRD, pihak Pertamina, pihak SPBU, aparat, perwakilan masyarakat yang tergabung dalam Forum Aspirasi Rakyat Pinggiran dan Lembaga Adat Berau Bersatu serta pihak terkait lainnya, yang berlangsung pada hari Selasa tanggal 5 Mei 2011 di ruang rapat gabungan Komisi DPRD Berau, yakni dengan kesimpulan sebagai berikut :
1. Akan dibentuk Tim penanggulangan kelangkaan BBM yang didalamnya melibatkan instansi dan masyarakat;
2. Tim secara bersama melakukan monitoring dan penertiban dilapangan terhadap para pengecer dan penimbun yang tidak bertanggungjawab;
3. Pemberian sanksi tegas terhadap pihak SPBU yang terbukti melakukan penyimpangan; dan
4. Penertiban dilapangan terhadap para pengecer yang sempat dilakukan namun tidak efektif dikarenakan terganjal dengan terbatasnya anggaran operasional. Dan saat ini anggaran tersebut sudah siap digunakan.

Maka yang harus dilakukan Pemerintah Daerah dan DPRD adalah:
Pertama, segera merealisasikan tindak tegas yang telah disepakati dalam pembicaraan tersebut;
Kedua, menyerukan masyarakat Berau untuk bersikap kritis, kooperatif dan “Coercive Discipline” agar tidak terjadi penyalahgunaan atau penyelewengan lagi oleh sebagian pihak yang tidak bertanggungjawab;
Ketiga, kerjasama yang signifikansi harus dilakukan antara Pemerintah Daerah, DPRD, aparat, pengelola SPBU, masyarakat dan juga mahasiswa untuk selalu mengawasi pemasukan “Fuel Supplay” dan pendistribusian BBM di Kabupaten Berau.
Penulis juga berasumsi bahwa hasil dari kesimpulan tersebut tidaklah cukup untuk mengatasi permasalahan BBM yang terjadi sekarang ini yang sudah sangat kritis, baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Karena, jika dicermati kelangkaan BBM jenis premium sekarang ini memang tidak hanya terkait dengan kapabilitas kemampuan Pertamina dalam mendistribusikan BBM secara merata. Namun kelangkaan tersebut juga terkait dengan kemampuan Pemerintah, dalam hal ini Pemerintah Daerah –telah disebutkan diatas– dalam memberikan dan mencairkan dana untuk produksi BBM kepada Pertamina dan tidak transparannya sistem kerja SPBU itu sendiri. Keterlambatan inilah yang kemudian menyebabkan pasokan BBM menjadi tersendat.

Selain faktor tersebut, ada beberapa hal lain yang juga mengakibatkan langkanya BBM di Kabupaten Berau, diantaranya adalah:

1. Dari sisi logistik atau sarana prasarana (tranportasi).
Sebelum Depo BBM yang berada di Kampung Samburakat Kecamatan Gunung Tabur dibangun yang telah mengabiskan dana investasi sebesar Rp. 118 miliar dan sampai saat ini belum bisa dioperasikan. Sarana prasarana transportasi pengiriman BBM yang masuk ke Berau sangat terbatas. Pengirimannya pun hanya menggunakan LCT (melalui transportasi air) atau tongkang minyak untuk suplay khusus ke perusahaan, (untuk perusahaan seperti perusahaan tambang dalam hal ini BBM jenis Solar). Dan untuk SPBU yang berada di Kecamatan Sambaliung misalnya, pihak pengelola hanya mampu menyediakan sarana 1 sampai 2 LCT saja yang berkapasitas atau berat muatannya sekitar 100-200 ton saja. Pengiriman pun dilakukan sebanyak 2-3 kali dalam setiap bulannya, namun itu juga tidak merata. Itu artinya suplay BBM yang menggunakan LCT tersebut bisa dihitung dalam hitungan ret saja, 2-3 ret perbulan. Begitu juga SPBU yang ada di Jl. Rinding Raya, Kelurahan Rinding yang sama-sama satu kepemilikan, hanya menggunakan transportasi jenis LCT yang besar muatannya sekitar 150-200 ton. Begitu juga dengan SPBU yang ada di Maluang Kecamatan Gunung Tabur, setiap bulannya hanya dapat melakukan pengiriman BBM dari Depo BBM Tarakan antara 2 sampai 3 kali saja dalam sebulan dan itu juga menggunakan LCT. Sedangkan LCT dalam kapasitas yang 200-300 ton tersebut hanya dapat terdistribusikan kurang lebih 1 minggu saja, karena dihitung berdasarkan jumlah kendaraan roda dua maupun roda empat di Kabupaten Berau yang setiap harinya selalu bertambah. Belum lagi jenis kendaraan (mesin) lain yang bahan bakarnya menggunakan bensin, seperti mesin ketinting dan mesin speed boat –telah disebutkan diatas–. Ini menandakan bahwa pengiriman yang dilakukan tidak bisa dilakukan hanya 2-3 kali setiap bulan melainkan lebih dari itu, bisa 3 sampai 5 kali setiap bulannya. Atau dengan menambah besar muatan pada setiap LCT, bisa digunakan LCT yang berkapasitas antara 500-800 ton. Jika saja hal ini dilakukan sebelumnya tentu kelangkaan BBM di Berau tidak sedemikian parahnya terjadi hingga saat ini, dan tentu harus ada kerjasama antara Pemerintah Daerah, Pengelola SPBU dan Pertamina. Terutama dalam masalah pendanaannya. Adapun SPBU yang berada di Kelurahan Bujangga, sarana transportasi yang digunakan hanya 1 LCT saja dengan besar muatan sekitar 200 ton. Pembagiannya 150 ton untuk Bensin jenis premium dan sisanya 50 ton untuk Solar. Pengiriman pun maksimalnya 4 kali dalam sebulan yang diambil dari Depo BBM Tarakan, itupun tidak rutin.

2. Pengetapan oleh sebagian pihak yang tidak memiliki rasa tanggung jawab untuk mencari keuntungan materi demi kepentingan pribadi.
Indikasi seperti ini bisa dikatakan sebagai bentuk pelanggaran moral yang berdampak kepada semua pihak. Kelangkaan BBM di Kalimantan Timur, adalah akibat ulah pengetap atau pemborong. Hal itu telah ditemukan faktanya di lapangan dan juga sudah dikemukakan dalam rapat kerja antara Pertamina dan Kepolisian Daerah Kaltim di Mapolda Kaltim pada tanggal 14 Agustus 2010 lalu. General Manager Unit Pemasaran VI Pertamina Balikpapan, Alfian Nasution mengatakan, “Pihaknya telah menyalurkan BBM bersubsidi hingga melebihi kuota. Namun, tetap terjadi kelangkaan. Itu diduga akibat pembelian besar-besaran oleh warga karena takut tidak kebagian. Keadaan diperparah lagi dengan pembelian menggunakan jerigen oleh masyarakat yang kemudian dijual kembali secara eceran. Kejadian serupa pun sering terjadi pada tahun 2009 lalu yang mengakibatkan Pertamina dirugikan hingga mencapai Rp. 1,4 triliun. Lalu, bagaimana pengawasan SPBU di Berau? Kalau sekiranya ada ketegasan dari Pemerintah Daerah dan aparat untuk mensinyalir keadaan di lapangan dengan melakukan pengawasan rutin, tentu hal-hal yang tidak diinginkan yang dapat merugikan masyarakat tersebut tidak terjadi. Seperti halnya pengetapan tersebut.

3. Penyimpangan kerja yang tidak prosedural yang sengaja dilakukan oleh karyawan SPBU dengan mensetting alat pengisian. Berdasarkan temuan di lapangan dan interview beberapa orang eks karyawan SPBU, hal ini sering terjadi hampir di semua SPBU yang ada, salah satu faktor penyebabnya adalah dikarenakan rendahnya upah minimum regional (UMR) karyawan SPBU yang masih dibawah Standar Basis UMR wilayah Berau. Dan hal itu juga bisa dikarenakan karena faktor disengaja dengan tujuan hanya ingin menambahkan penghasilan. Hal ini tentu merugikan pengelola SPBU secara materi. Jika saja gajih karyawan SPBU dinaikkan maka hal seperti ini tidak akan terjadi, kecuali mereka yang memang tidak memiliki rasa tanggung jawab dan disiplin kerja.
Keempat; adanya indikasi penumpukkan stok BBM yang sering dilakukan pihak SPBU.
Mungkin ini dipicu karena saingan bisnis, atau bisa disebut dengan istilah “Diskriminasi Bisnis”, sebutan ini mungkin pas untuk pihak SPBU. Karena usut punya usut mereka sering melakukan penumpukkan BBM, yang seharusnya hal ini tidak dilakukan. Kalau dilihat dari efektifitasnya, tindakan ini tidak menguntungkan pihak SPBU itu sendiri tapi malah merugikan karena target penjualan tidak stabil.

Berdasarkan fakta diatas, maka “Solusi” yang dapat dilakukan dengan mempertimbangkan kesimpulan hasil pembicaraan Pemerintah Daerah, DPRD dan pihak-pihak terkait lainnya, adalah :

1. Pembentukkan TIM Penanggulangan Kelangkaan BBM tidak hanya dilakukan oleh instansi terkait dan masyarakat saja. Akan tetapi harus ada pembentukkan TIM yang melibatkan seluruh elemen, termasuk salah satunya adalah dari para mahasiswa yang amanah dan profesional, yang bekerja berdasarkan pengarahan Pemerintah Daerah dan DPRD;

2. Pemberian sanksi tegas terhadap pihak SPBU bisa dilakukan dimulai dari pemiliknya (pengelola) dan juga karyawan-karyawannya. Dari hasil temuan yang penulis pernah dapatkan, adanya penyimpangan kerja (Job Deviation) yang dilakukan oleh para karyawan SPBU yang sangat mempengaruhi cepat habisnya stok BBM di SPBU tersebut. Rata-rata hampir disemua SPBU yang ada, karyawannya dengan mudah melakukan penyelewengan dalam pendistribusian tanpa sepengetahuan pimpinan. Misalnya, menjual secara sembunyi-sembunyi dengan jumlah yang cukup banyak, atau dalam hitungan ton.

3. Mengenai persiapan anggaran dana operasional untuk melakukan penertiban terhadap para pengecer dilapangan, menurut penulis hal ini tidak mesti harus dilakukan. Mengapa? Karena, jika aparat bekerja sesuai dengan kinerjanya, maka demi kepentingan bersama (Pint Interest) dan kepentingan masyarakat (Public Interest) guna mensejahterakan masyarakat, sebagai aparat yang bekerja secara profesional tentu tidak harus mengeluarkan anggaran dana operasional tersebut. Ini bukan penghematan, akan tetapi menurut asumsi penulis anggaran seperti itu harusnya dibuatkan untuk keperluan lain yang estimasinya harus benar-benar signifikan. Dan jika melihat berdasarkan kebutuhan primer, para pengecer secara tidak langsung juga sangat membantu masyarakat (konsumen) yang mempunyai waktu tidak banyak untuk melakukan pengisian di SPBU, sehingga masyarakat (konsumen) merasa terbantu dengan adanya para pengecer BBM yang berposisi di pinggir-pinggir jalan. Hanya saja yang mungkin memang harus di follow-up, ditindaktegas (put foot down) dan diperhatikan oleh Pemerintah Daerah adalah melakukan pembatasan terhadap para pengecer tersebut, dalam hal ini melakukan tindak razia rutin yang apabila ditemukan dari para pengecer tidak memiliki Izin Usaha maka harus diberikan kemudahan untuk mengurus Izin Usaha dengan memberikan berbagai pertimbangan-pertimbangan yang tidak memberatkan dan tidak merugikan para pengecer tersebut.

4. Berdasarkan temuan yang pernah penulis dapatkan di lapangan, dan interview dari beberapa eks karyawan SPBU, salah satu penyebab kelangkaan BBM adalah adanya indikasi yang bisa dikategorikan sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh para karyawan SPBU –telah dijelaskan diatas– diantaranya :
- Membiarkan sebagian orang dengan leluasa melakukan pengisian secara berulang-ulang, dengan memberikan “uang jasa” kepada karyawan yang berkisar antara Rp. 20,000 sampai Rp. 50,000 sebagai simbolik kerjasama antara karyawan dan pelaku pengisian tersebut.
- Mensetting alat pompa pengisian yang tidak wajar, yang tidak sesuai dengan takaran hitungan pengisian standar, sehingga dalam hitungan yang seharusnya 1 liter penuh, hasilnya tidak sampai 1 liter penuh. Dan apabila dalam satu kendaraan, misalkan roda dua yang standar pengisian full-nya 4 liter, maka ketika di takar ulang hasilnya tidak sampai full 4 liter. Terlebih untuk kendaraan roda empat, banyak pemilik kendaraan yang memodifikasi tangki minyak kendaraannya yang tadinya rata-rata standar isi (berat isi) hanya 40-45 liter menjadi 70 bahkan mencapai 90 hingga 100 liter. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi dalam pencegahan prihal seperti ini, salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah dengan memperkerjakan SDM yang benar-benar amanah dan profesional dan ahli dalam bidang tersebut. Dan ini harus dilakukan oleh pengelola SPBU bekerjasama dengan aparat yang selalu mengawasi pada setiap pengisian atau pendistribusiannya.

5. Berdasarkan hasil penelitian, bahwa salah satu penyebab kelangkaan BBM adalah rendahnya upah minimum regional (UMR) para karyawan SPBU –telah disebutkan diatas–. Dari beberapa SPBU yang ada, untuk kesejahteraan para karyawannya hanya berkisar antara Rp. 15.000 per hari. Dan basis gajih yang diterima para karyawan hanya sebesar Rp. 850,000 sampai Rp. 950,000 per orangnya. Itu artinya, bahwa basis UMR karyawan SPBU masih dibawah standar UMR. Maka, hal seperti inilah yang mengakibatkan para karyawan bekerja tidak sesuai dengan prosedur kerja yang baik. Sehingga mereka melakukan hal-hal yang tidak baik pula. Oleh karena itu, hendaknya pengelola SPBU harus menaikkan gajih para karyawannya yang benar-benar sesuai dengan UMR dan kebutuhan demi kesejahteraan mereka. Dan harus melakukan sistem dan manajemen kerja yang tranparan, akuntabilitas dan efisien, agar tidak ada diskriminasi antara karyawan SPBU dengan karyawan-karyawan perusahaan lainnya, dalam hal ini efektivitasnya adalah untuk mengalihkan paradigma bahwa semua pekerja baik yang di perusahaan pertambangan maupun distributor dan lainnya harus tetap disamaratakan. Sehingga tidak menimbulkan yang namanya kecemburuan sosial “Social Jealousy” antara para pekerja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Syukron