Salam Ukhuwah, Jalin Silaturahim, Share Ilmu dan Saling Berbagi Informasi

Selasa, 10 Mei 2011

Implementasi Kurikulum dan Kompetensi Guru di Jepang

Pedoman pembelajaran atau yang disebut dengan kurikulum, harus diramu di sekolah agar menjadi bahan ajar yang cocok dengan kondisi siswa. Pekerjaan meramu ini bukan pekerjaan yang mudah dan banyak guru yang gagal, lalu hanya sekedar meniru ramuan sekolah lain (Meniru). Proses peramuan memerlukan analisa dan survey yang detil tentang kondisi dan potensi siswa dan sekolah termasuk guru. 

Oleh karena itu, untuk menerapkan hal ini:
Pertama, sekolah-sekolah di Jepang mengembangkan survey sekolah secara berkala (lih.Ramli,2009). Survey yang diselenggarakan termasuk dalam rangkaian evaluasi sekolah, misalnya survey tentang kesehatan siswa, kebiasaan sehari-hari, jam belajar siswa, dll.

Kedua, pihak sekolah mempelajari potensi daerah yang selayaknya diajarkan kepada siswa. Setelah pemahaman ini ditangkap, kepala sekolah dan guru mengontak pihak terkait untuk bekerja sama menerapkan kurikulum yang diinginkan. 

Ketiga, membicarakan penerapannya dengan pihak orang tua yang tergabung dalam Parent Teacher Association (PTA).

Termasuk dalam pembinaan kompetensi aparat sekolah dan guru adalah kewajiban untuk membuat laporan tertulis. Sistem pelaporan ini sekaligus melatih guru untuk mengembangkan kemampuan menulis ilmiah. Terkadang laporan tersebut dikembangkan sebagai penelitian terpadu dan dipresentasikan di seminar-seminar.

Sebagaimana dikritik oleh beberapa pakar pendidikan bahwa kebanyakan kebijakan pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang muncul bukan dari pemikiran bawah. Oleh karena itu banyak yang tidak bisa diterapkan di sekolah secara optimal, dan pada akhirnya mendapat protes keras dari Teacher Union (Nikkyouso dan Zenkyou).

Ketidakmampuan guru-guru di Jepang untuk segera dapat menerjemahkan keinginan pemerintah (pembuat kebijakan) barangkali karena konsep-konsep baru yang diadopsi berbeda dengan konsep yang mereka pelajari saat mengikuti pendidikan guru. Guru-guru di Jepang adalah lulusan dari Normal School (semacam SPG), Kyouiku daigaku (Educational College), atau Fakultas Pendidikan Universitas.

Sistem sertifikat mengajar telah dikembangkan di Jepang sejak tahun 1886, yang hanya diberikan kepada guru yang lolos dalam ujian seleksi guru. Guru-guru tersebut bertugas di Ordinary Normal School, Ordinary Middle School, dan Girl High School. Jenis sertifikat ada empat, yaitu sertifikat kelas satu, kelas dua, kelas tiga dan non kelas. Perubahan jenis sertifikat dapat terjadi jika seorang guru telah memiliki pengalaman mengajar. Pada tahun 1892, pemberian sertifikat kepada guru pengajar ordinary normal school dibuat secara terpisah, dengan tetap mempertahankan sertifikat kelas satu dan kelas dua. Sedangkan kelas tiga dan non kelas diberikan kepada asisten guru. Pelaksanannya berlangsung dua tahap, yaitu tahap pertama secara otomatis pemilik gelar sarjana atau lulusan sekolah keguruan memperoleh sertifikat kelas satu, tanpa atau dengan mengikuti ujian khusus untuk menjadi guru, sedangkan non lulusan sekolah keguruan atau kesarjanaan yang mengikuti ujian guru dan lolos akan memperoleh sertifikat kelas dua.Tahap kedua diberikan setelah mengabdi beberapa tahun sebagai guru. (lRamli, 2008b).

Tahun 1894 lahir peraturan sertifikasi baru yang tidak mengkelas-kelaskan jenis sertifikasi, tetapi memberikan lisensi mengajar kepada semua lulusan universitas umum dan universitas khusus wanita (yang berkecimpung di bidang pendidikan keguruan. Hanya ada satu di Jepang waktu itu, yaitu di Nara).Tahun 1896, hak memberikan sertifikasi guru diberikan sepenuhnya kepada rektor universitas. Tahun 1899 berlaku peraturan sertifikasi untuk lulusan universitas negeri maupun swasta, college, dan universitas asing.Tahun 1990 sistem sertifikasi sepenuhnya dipegang oleh MEXT dan lisensi hanya diberikan kepada lulusan sekolah keguruan atau fakultas pendidikan universitas. Bagi non lulusan fakultas pendidikan diperkenankan mengikuti ujian seleksi yang penanganannya dilakukan oleh komite khusus sertifikasi guru (MEXT, 2007).

Monbukagakusho memberlakukan sistem "School Councillor", yang pada tahun 2003 tercatat hampir 7.000 sekolah memiliki badan ini. Pemerintah juga menganjurkan sekolah untuk lebih terbuka kepada masyarakat dan orang tua melalui pelaksanaan evaluasi sekolah oleh pihak luar sekolah (gaibu gakkou hyouka), yang dengan ini pula sekolah harus lebih transparan dalam mengungkapkan proses belajar mengajar di sekolah, juga admnistrasi dan manajemen sekolah.

Sistem sertifikasi ulang yang dikenal dengan "Kyōinmenkyokōsinsei" (sistem pembaruan sertifikasi guru) tidak saja merupakan jawaban terhadap perubahan sosial masyarakat tetapi juga sebagai salah satu instrument pelengkap pelaksanaan sekolah yang terbuka kepada konsumernya.Dengan kebijakan ini, guru-guru diharuskan untuk mengikuti `training penyegaran` setiap 10 tahun sekali. Dalam definisi Monbukagakusho, kriteria guru yang bermutu harus disesuaikan dengan era global dan perubahan struktur masyarakat Jepang yaitu, karena semakin panjangnya daya hidup orang Jepang dan semakin menurunnya jumlah kelahiran, yang menyebabkan masyarakat Jepang menuju kepada `aging society`, yaitu masyarakat dengan populasi penduduk usia tua lebih banyak daripada penduduk usia muda.

Ide untuk melaksanakan sertifikasi ulang terhadap lisensi mengajar bukan hal yang mudah diterima oleh kalangan guru di Jepang, apalagi data guru yang tidak layak mengajar (shidō fuzoku kyouin) sebagian besar adalah guru-guru senior. Sebagaimana dipahami masyarakat Jepang sangat menghormati system senioritas, terbukti dengan adanya sistem gaji berdasarkan senioritas dan masa kerja yang lama, pun juga berbagai kelebihan dalam dunia bisnis yang dimiliki oleh senior. Gaji guru yang telah bekerja 20 tahun di Jepang lebih besar daripada gaji guru yang sudah bekerja 5 tahun. Dalam bisnis di Jepang pun sangat mudah terjadi transfer pekerjaan dari satu tempat ke tempat lain, baik dalam perusahaan yang sama ataupun perusahaan yang berbeda bidang.Sistem training di dalam tempat bekerja pun menjadi hal yang lazim. (Watanabe & Edwin,1993).

Sistem pengembangan profesionalisme guru di Jepang juga menganut sistem senioritas, yaitu guru-guru senior berkewajiban membimbing guru-guru baru. Penulis hendak mengutip apa yang pernah penulis tuliskan dalam blog Berguru, blog tentang pendidikan Jepang dan Indonesia yang penulis buat sebagai berikut :
“Tradisi pelatihan guru muda di Jepang tidak berubah, yaitu setahun pertama semua guru fresh graduated harus menjalani in-service training, untuk mengenali semua tugas dan kewajiban administratur sekolah (kepala sekolah, wakasek, dan pejabat lain), serta memahami tugas guru. Penulis pernah membaca sebuah laporan hasil training seorang guru muda dan sangat mengagumkan karena guru tersebut menuliskan secara detil apa saja kegiatan yang harus dilakukannya detik per detik sejak dia datang ke sekolah hingga pulang. Dan yang lebih mencengangkan, dia telah mengamati seharian kerja wakasek, sehingga secara detil mengurutkan apa yang harus dilakukannya setiap hari. Di sekolah-sekolah Jepang, orang yang paling sibuk sehari-harinya adalah wakasek. Wakasek hanya ada satu orang, dan dia yang bertugas mulai dari mengecek bel sekolah sampai mengagendakan kegiatan harian kepala sekolah. Barangkali tidak sama dengan Indonesia yang guru-guru mudanya lebih “berani” berkata keras atau berselisih paham dengan guru senior, di Jepang hal ini hampir tidak pernah ditemukan. Tradisi yang kuat berakar bahwa senior harus didengarkan dan dihormati masih terus dipegang, dan orang yang menentangnya akan segera dikucilkan.Lalu bagaimana kalau berselisih paham? Jika memiliki ide baru, si guru muda harus membuktikannya dalam perbuatan dulu. Maksudnya tidak sekedar dalam taraf ucapan, tapi harus sampai pada taraf aplikasi. Dan satu hal yang harus diingat, kalimat dan ucapan yang harus dipergunakan ketika berbicara dengan guru senior adalah kalimat yang sangat sopan. Biasanya lulusan perguruan tinggi telah belajar sistem penghormatan kepada senior di level SMA dan di PT. Sama halnya dengan Indonesia, tidak semua guru senior di Jepang adalah guru yang baik. Tetapi sistem pendidikan guru dan perekrutannya sudah diusahakan baik, maka harapannya jika sistem berjalan baik, tentunya akan meraih sukses seperti yang dimaui. Ibaratnya kita membicarakan hukum pemberantasan korupsi, jika hukumnya telah baik, maka tinggalah mendidik agar oknumnya 50% lebih mematuhi dan menjalankan hukum itu. Dan saya berani menyimpulkan bahwa 50% lebih guru Jepang menjalankan sistem dengan baik. Guru senior berkewajiban mendidik guru junior. Tentu saja jika guru seniornya kurang baik, maka hasilnya bisa saja guru junior pun kurang baik, atau bisa juga guru junior mampu memperbaiki diri. Tapi pola pembinaan senior junior adalah mutlak dilakukan”.

 
Referensi :
> Hara, K. 2007. Gakkō kyōikukateiron. Tokyo: Gakkobunsya
> Watanabe, A. and Edwin L. Herr. 1993. “Career Development Issues Among Japanese Work Groups.”  Journal of Career Development, Vol. 20, pp 61-72
> Ramli,M. 2008a. Apa Yang Seharusnya Diajarkan Kepada Anak Tentang Kota Dan Transportasi ? Inovasi Online, 10 (10), pp. 61-66.PPI Jepang
> Kebijakan Evaluasi Guru di Jepang,Educationist,2(2), pp.112-122. Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung bekerjasama dengan LPTKI
> Membina Siswa dan Sekolah Sehat di Jepang. Inovasi Online, 13 (22), PPI Jepang

Situs Internet :
Ministry of Education, Culture, Sports, Science and Technology (MEXT)
(http://www.mext.go.jp/english/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Syukron