Salam Ukhuwah, Jalin Silaturahim, Share Ilmu dan Saling Berbagi Informasi

Minggu, 15 Mei 2011

Islam adalah Warisan Istimewa yang Dilupakan Barat

Intelektual asal Perancis, Roger Garaudy, punya angan-angan menarik dan futuristik. Menurutnya, andai saja Barat memilih dan menerima Islam sebagai sistem atau pandangan hidup (wordview), maka Barat tidak akan melakukan penjajahan di dunia Islam. Bangsa-bangsa Barat juga tidak akan menggelar perang dan merampas hak-hak kehidupan bangsa lain, terutama umat Islam. Mereka ingin dan terus ingin menjajah bangsa-bangsa Muslim dengan berbagai cara dan pola. Tiap tahun mereka merekayasa hegemoni bangsa-bangsa Muslim yang dianggap sebagai ancaman bagi mereka. Mengenai hal ini, kita bisa melihat bagaimana Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Italia, Belanda, Jerman, dan Negara-negara sekutu lainya bersatu memecah wilayah-wilayah Islam di Timur Tengah, Afrika, dan Asia. Sekitar 2001, seorang tokoh pendidikan keturunan Arab pernah bercerita, AS berharap tahun 2002 Indonesia mengalami Balkanisasi dan sekarang itu sudah hampir terjadi.

Bangsa Barat bersikap serakah terhadap masyarakat Islam, menurut Roger Garaudy, itu disebabkan karena mereka memilih "renaisans" (kelahiran kembali) atau- dalam bahasa orientalis "aufklarung" (pencerahan). Padahal, bila ditelisik masa renaisans Islam lebih dulu lahir di Barat. Tepatnya di Spanyol. Namun renaisans di Spanyol mereka abaikan, dan mereka memilih renaisans Italia. "Masa kelahiran renaisans Barat telah terjadi di Spanyol Islam ketika Bani Ummayah berkuasa selama 4 abad sebelum renaisans di Italia,” terang Gaurady. (Lihat: Roger Garaudy, Promesess de l’Islam, 1981. Alih bahasa Prof. Dr. H. M. Rasyidi).

Ketika Islam masuk di Gibaltar (Jabal Thariq), Spanyol, oleh pasukan Islam di bawah komando Ziyad ibn Thariq, banyak masyarakat Barat yang memilih menjadi Muslim. Sementara mereka yang tetap pada agama Kristen dilindungi kendati mereka tidak memeluk Islam. Tidak ada gereja yang dihancurkan, dan rumah-rumah mewah mereka tetap dibiarkan berdiri. Setelah Islam diterima di kawasan ini, di tempat ini pula muncul ulama, filsuf, hukama, qadli, dan ilmuan-ilmuan masyhur yang telah menyumbangkan ilmu-ilmu mereka kepada Barat. Di sini kita bisa menyebut Ibn Rusyd (pakar perbandingan fiqh dan filfasat, al-Qurtubi (mufasir), dan lainnya di berbagai tempat.

Lembaga pendidikan tinggi setingkat universitas (jami’ah) dan jabatan profesional dalam ilmu adalah temuan Muslim. Pengangkatan atau wisuda seorang murid yang telah menyelesaikan pendidikan dan lulus ujian telah menjadi tradisi sejak didirikan universitas tertua di dunia al-Azhar di Kairo. Tradisi ini mengajarkan bahwa sang murid sudah berhak untuk menjadi muallim (pengajar).

Klasifikasi materi buku-buku di perpustakaan besar memunculkan berbagai karya referensi dan karya bibliografi. Karya ensiklopedi pertama adalah buatan Ikhwan al-Shafa tahun 983 M, tapi Marshal Cavendish-lah kemudian yang dianggap sebagai penemu ensiklopedia hanya karena ia bangsa Barat dan menyusunnya dalam bahasa Inggris.

Ilmu pengetahuan yang maju, peradaban yang tinggi dan perpustakaan besar dengan beribu-ribu buku telah menarik begitu banyak ilmuan dari seluruh penjuru dunia tak terkecuali ilmuan Barat yang sengaja belajar ke pusat-pusat peradaban Islam tersebut. Pada gilirannya para ilmuan Barat yang pulang kembali ke negerinya menjadi sebab munculnya renaisans di Barat.

Methode ilmiah adalah sumbangan peradaban Islam terbesar pada pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam laporan laboratorium al-Battani (w. 929M), al-Biruni (w. 1048M) dan Ibnu Haitsam (w. 1039M), kita bisa jumpai penjelasan dan penggunaan metode tersebut. Tapi yang dianggap penemu metode ilmiah adalah Roger Bacon karena ia telah men-sekuler-kan ilmu pengetahuan dengan metode ilmiah.

Di bidang matematika, al-Khwarizmi (w. 850) menemukan algoritma (diambil dari namanya) dan aljabar (dari judul bukunya berjudul al-Jabr wa al-Muqobbala), kemudian dunia Barat mengenal angka nol dan mengadopsi angka Arab dan meninggalkan sistem angka romawi yang rumit dan tak bertele-tele. Meskipun kini aljabar dan algoritma wajib diajarkan, tak ada sejarah yang diajarkan di kelas sekedar menuliskan nama al-Khwarizmi sebagai penghormatan.

Hal serupa terjadi pada bidang kesusastraan. Misalnya, novel Alf Laila wa Lailah (kisah Seribu Satu Malam) sebenarnya bukan mahakarya sastra, meskipun diakui sebagai karya seni dengan kreatifitas isinya yang tinggi, tetapi salah satu tokohnya Abu Nawas (w. 810) lebih terkenal karena anekdot dan kelucuannya dari pada filsafat dan kearifannya.

Demikian pula Ibnu Thufail (w. 1185).Ia adalah pengarang novel-novel filsafat yang paling dini. Karyanya risalah "Hayy Ibnu Yaqzan" (Kehidupan Ibnu Yaqzan) banyak dijiplak dan cerita Robinson Crusoe karya Dafoe adalah tiruan rasis darinya. Tentu saja Dafoe yang lebih terkenal di dunia sastra Barat.

Model "Orbit Planet Copernicus" yang kemudian dirumuskan dengan baik oleh Kepler dalam Hukum Kepler I, II dan III sebenarnya telah dihasilkan dari laboratorium di Maraga oleh ilmuan seperti al-Tusi (w. 1274 M) yang kemudian diteruskan oleh Ibnu al-Syatir (w. 1375 M) di Damaskus. Ibnu al-Haytsam (w. 1039 M) mempelopori penelitian tentang optika. Eksperimennya menggunakan lebih dari 27 jenis lensa. Roger Bacon, Leonardo da Vinci dan Kepler bahkan mungkin Newton telah mengambil inspirasi bahkan menjiplak dari bukunya Kitab al-Manazhir (Kamus Optik). Sebab teori tentang mata yang bukan sumber cahaya (mirip kesimpulan Newton yang menggugurkan pendapat Euclid dan Ptolomy), hukum refleksi dan refraksi (yang lebih terkenal dengan hukum Snellius) serta pertambahan ukuran bintang dekat zenith sesungguhnya telah dirumuskan dengan baik oleh Ibnu al-Haytsam lewat berbagai eksperimennya. Belum lagi ilmu kedokteran. Dunia mestinya berterimakasih pada Ibnu Sina. Mereka, bangsa Barat menyebutnya dengan "Ave Sena" yang telah menulis Kitab "Qanun fi Al-Tibb" yang berisi berbagai jenis penyakit dan pegobatannya secara komprehensif. Buku tersebut menjadi acuan selama beberapa abad dan diajarkan kepada seluruh calon-calon dokter pada saat itu.

Sampai akhir abad ke-19 tingginya ilmu pengetahuan kedokteran sumbangsih para dokter Muslim terlihat saat para calon dokter di Prancis harus mendapatkan surat izin praktek dari Kepala Dokter Muslim di Tunisia. Tapi kemudian pemerintah kolonial Prancis melarang keras tindakan tersebut. Eropa berusaha menghapuskannya dengan alasan menganggapnya rendah hanya karena dokter mereka harus merunduk ke Tunisia yang Islam. Mereka tidak jujur, karena kejayaan dan kebaikan kaum Muslimin itu dicuri dan diakui sebagai hasil karya Barat. Parahnya lagi, hasil karya para ilmuan Muslim dihancurkan oleh para penguasa yang tidak peduli perjuangan dan pengorbanan umat Islam. Mereka lebih senang korupsi dan berkongsi penjajah Barat, yang sejak semua benci dengan Islam.

Sebenarnya peradaban Barat telah banyak berhutang kepada Islam. Sayang mereka tidak jujur atas sumbangan besar kaum Muslimin tersebut. Semenjak 13 abad, Barat telah menolak warisan ketiga ini, yaitu warisan Islam yang pada masa lalu mestinya dapat dan terang akan dapat mempertemukan kebudayaan Barat dengan kebudayaan-kebidayaan lainnya di seluruh dunia, (Garaudy, pemeluk Katholik yang menjadi atheis dan berakhir menjadi Muslim).

Graudy menegaskan, jika saja Barat bersikap fair dan merendah, maka mereka akan menjadi bangsa yang bermartabat. Selain itu, warisan ketiga itu juga akan membantunya untuk merasakan dimensi-dimensi kemanusian dan ketuhanan yang telah terpisahkan selama kebudayaan Barat berkuasa secara sepihak, mengembangkan kemauannya untuk menguasai alam dan manusia. Jika saja Barat mau menerima Islam, maka mereka tidak akan seperti sekarang ini: sekuler, liberal, ambigu, dan rasial.

Kamis, 12 Mei 2011

Jangan Lelah Beramal

"Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain" (QS. al-Insyirah: 7)

Tidak dipungkuri lagi dalam pandangan kita sebagai kader dakwah bahwa tabiat seorang mukmin sejati adalah berbuat, berbuat dan terus berbuat. Sehingga seluruh waktunya selalu diukur dengan produktivitas amalnya. Ia tidak akan pernah diam karena diam tanpa amal menjadi aib bagi orang beriman. Seorang mukmin akan terus mencermati peluang-peluang untuk selalu berbuat. Maka perlu kita ingat dalam sanubari yang paling dalam bahwa "menganggur" dapat menjadi pintu kehancuran. Tidaklah mengherankan banyak ayat maupun hadits yang memotivasi agar selalu berbuat dan berupaya untuk menghindari diri dari sikap malas dan lemah. Malas dan lemah berbuat dianggap sebagai sikap dan sifat buruk yang harus dijauhi orang-orang beriman.

Mengingat tugas dan tanggung jawab yang kita emban sangat besar dan masih banyak agenda yang menanti untuk diselesaikan maka segeralah untuk menyiapkan diri menunaikannya. Rasanya perlu dicamkan dalam benak pikiran kita akan nasehat syaikh Abdul Wahab Azzam : "Pikiran tak dapat dibatasi, lisan tak dapat dibungkam, anggota tubuh tak dapat diam. Karena itu jika kamu tidak disibukkan dengan hal-hal besar maka kamu akan disibukkan dengan hal-hal kecil".

Oleh karena itu Rasulullah SAW. segera memberangkatkan para sahabat dalam ekspedisi militer yang beruntun sesudah Badar untuk meminimalisir konflik internal yang amat mungkin terjadi lantaran berhenti sesudah amal besar.

Setiap kesempatan yang diberikan kepada seorang mukmin maka setiap itu pula ada satu kaedah perintah secara implisit untuk dapat mengukir prestasi dirinya. Agar apa yang dilakukannya dengan berputarnya waktu mampu disesuaikan dengan tuntutan zaman dan kapabilitas rijalnya. Seperti kaedah dakwah yang memaparkan, "setiap dakwah ada marhalahnya dan setiap marhalah ada tuntutannya dan setiap tuntutan ada orangnya".

Sangat mudah untuk dipahami bila setiap waktu ada tuntutannya maka kita mesti menyesuaikan diri agar sesuai dengannya. Tuntutan ini kompatibel dengan amanah yang diembankan kepada kita saat ini. Dan dalam pandangan Islam setiap amanah merupakan sesuatu tugas yang tidak boleh dikhianati atau diabaikan hingga tidak dapat menunaikannya dengan baik. Inilah kesempatan emas bagi kita untuk mengukir ukiran terindah dalam hidup kita secara personal maupun kolektif agar kita mampu memberikan cermin indah bagi orang lain ataupun generasi berikutnya. Inilah saat yang tepat bagi kita mengukir prestasi. Pergunakanlah sebaik-baiknya agar kita memiliki investasi besar dalam dakwah ini.

Kita telah mafhum bahwa kemarin kita telah memaksimalkan "tadhiyah" untuk "Jihad Siyasi". Dan kitapun telah mengetahui balasan yang diberikan Allah SWT atas upaya maksimal kita. Namun bukan berarti kita telah selesai dalam amal jihadiyah ini. melainkan kita menindak lanjuti prosesi amal ini. Agenda besar yang dapat kita lakukan adalah :

Pertama, "recovery tarbiyah" 
adalah mengembalikan iklim tabawi seperti semula yang menanamkan sikap komitmen pada Islam sikap kekokohan maknawi dan militansi nilai-nilai dakwah. Begitu pula tentang apakah perjalanan liqo tarbawinya sebagaimana perjalanan di waktu normal. Memang kita akui bahwa saat kemarin perjalanan liqo tarbawi ini sedikit mengalami gangguan. Juga kondisi ruhaniyah dan moral para kader dakwah yang selalu menjadi pijakan dasar bagi para kader apakah dalam kondisi prima ataukah sebaliknya. Sehingga aktivitas yang biasa dilakukan melalui mabit-mabit dapat dikerjakan atau jalasah ruhiyah yang selalu diagendakan bagi akhwat dan lainnya. Hal ini tentu berdasarkan pada pandangan bahwa tarbiyah-lah yang menjadi pijkan dakwah kita sehingga aktivitas ini harus segera di-in'asy kembali.

Kedua, "taushi'atut tajnid" (ekspansi rekrutmen), 
Sesudah banyak orang yang berhimpun dalam barisan dakwah ini maka kita harus memberikan hak tarbiyah mereka. Apalagi mereka pun sesungguhnya sangat menanti kehadiran kader dakwah untuk bisa membina diri mereka dan menjadikan mereka sebagai bagian dari mesin besar dakwah ini. Pada waktu yang lalu rekrutmen kader terbatas pada satu pintu tertentu, yakni kalangan akademisi. Di hari ini segmentasi rekrutmen sudah sangat beragam. Sehingga para junud dakwah ini harus dapat mengantisipasi untuk memperluas wilayah pembinaan di berbagai kalangan. Orang-orang yang telah berhimpun itu secara tidak langsung mengandung tanggung jawab untuk membina mereka menjadi kader yang sesunguhnya.

Ketiga, "ta'amuq dzaty" (memperdalam kualitas dan kemampuan diri). 
Sudah kita ketahui bahwa semakin banyak amanah yang dipercayakan umat kepada kita maka harus semakin meningkat kualitas dan kemampuan kita untuk dapat menunaikannya. Dan sekarang amanah yang diserahkan kepada kita pun dengan urusan yang beragam. Sehingga kita pun selayaknya memperdalam kemampuan kita untuk dapat menyelesaikan urusan orang banyak yang beragam itu.

Keempat, "taqwiyatu billah" (memperkokoh hubungan dengan Allah SWT)
yang dapat menjadikan diri kita mampu dan kuat tidak lain karena hubungan yang kuat pula pada Allah SWT, sehingga kita tidak boleh mengabaikan amal-amal yang menghantar diri kita ke arah itu. Dan amaliyah ini sedapat mungkin menjadi harian kader yang selalu menghias pada jiwa dan raganya. Semoga Allah senantiasa memberikan kekuatan kepada diri kita untuk dapat melaksanakan tugas-tugas yang kita emban hari ini. Amien. Wallahu 'alam bishshawab.

"Dan katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan". (QS. at-Taubah : 105)

Selasa, 10 Mei 2011

Implementasi Kurikulum dan Kompetensi Guru di Jepang

Pedoman pembelajaran atau yang disebut dengan kurikulum, harus diramu di sekolah agar menjadi bahan ajar yang cocok dengan kondisi siswa. Pekerjaan meramu ini bukan pekerjaan yang mudah dan banyak guru yang gagal, lalu hanya sekedar meniru ramuan sekolah lain (Meniru). Proses peramuan memerlukan analisa dan survey yang detil tentang kondisi dan potensi siswa dan sekolah termasuk guru. 

Oleh karena itu, untuk menerapkan hal ini:
Pertama, sekolah-sekolah di Jepang mengembangkan survey sekolah secara berkala (lih.Ramli,2009). Survey yang diselenggarakan termasuk dalam rangkaian evaluasi sekolah, misalnya survey tentang kesehatan siswa, kebiasaan sehari-hari, jam belajar siswa, dll.

Kedua, pihak sekolah mempelajari potensi daerah yang selayaknya diajarkan kepada siswa. Setelah pemahaman ini ditangkap, kepala sekolah dan guru mengontak pihak terkait untuk bekerja sama menerapkan kurikulum yang diinginkan. 

Ketiga, membicarakan penerapannya dengan pihak orang tua yang tergabung dalam Parent Teacher Association (PTA).

Termasuk dalam pembinaan kompetensi aparat sekolah dan guru adalah kewajiban untuk membuat laporan tertulis. Sistem pelaporan ini sekaligus melatih guru untuk mengembangkan kemampuan menulis ilmiah. Terkadang laporan tersebut dikembangkan sebagai penelitian terpadu dan dipresentasikan di seminar-seminar.

Sebagaimana dikritik oleh beberapa pakar pendidikan bahwa kebanyakan kebijakan pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang muncul bukan dari pemikiran bawah. Oleh karena itu banyak yang tidak bisa diterapkan di sekolah secara optimal, dan pada akhirnya mendapat protes keras dari Teacher Union (Nikkyouso dan Zenkyou).

Ketidakmampuan guru-guru di Jepang untuk segera dapat menerjemahkan keinginan pemerintah (pembuat kebijakan) barangkali karena konsep-konsep baru yang diadopsi berbeda dengan konsep yang mereka pelajari saat mengikuti pendidikan guru. Guru-guru di Jepang adalah lulusan dari Normal School (semacam SPG), Kyouiku daigaku (Educational College), atau Fakultas Pendidikan Universitas.

Sistem sertifikat mengajar telah dikembangkan di Jepang sejak tahun 1886, yang hanya diberikan kepada guru yang lolos dalam ujian seleksi guru. Guru-guru tersebut bertugas di Ordinary Normal School, Ordinary Middle School, dan Girl High School. Jenis sertifikat ada empat, yaitu sertifikat kelas satu, kelas dua, kelas tiga dan non kelas. Perubahan jenis sertifikat dapat terjadi jika seorang guru telah memiliki pengalaman mengajar. Pada tahun 1892, pemberian sertifikat kepada guru pengajar ordinary normal school dibuat secara terpisah, dengan tetap mempertahankan sertifikat kelas satu dan kelas dua. Sedangkan kelas tiga dan non kelas diberikan kepada asisten guru. Pelaksanannya berlangsung dua tahap, yaitu tahap pertama secara otomatis pemilik gelar sarjana atau lulusan sekolah keguruan memperoleh sertifikat kelas satu, tanpa atau dengan mengikuti ujian khusus untuk menjadi guru, sedangkan non lulusan sekolah keguruan atau kesarjanaan yang mengikuti ujian guru dan lolos akan memperoleh sertifikat kelas dua.Tahap kedua diberikan setelah mengabdi beberapa tahun sebagai guru. (lRamli, 2008b).

Tahun 1894 lahir peraturan sertifikasi baru yang tidak mengkelas-kelaskan jenis sertifikasi, tetapi memberikan lisensi mengajar kepada semua lulusan universitas umum dan universitas khusus wanita (yang berkecimpung di bidang pendidikan keguruan. Hanya ada satu di Jepang waktu itu, yaitu di Nara).Tahun 1896, hak memberikan sertifikasi guru diberikan sepenuhnya kepada rektor universitas. Tahun 1899 berlaku peraturan sertifikasi untuk lulusan universitas negeri maupun swasta, college, dan universitas asing.Tahun 1990 sistem sertifikasi sepenuhnya dipegang oleh MEXT dan lisensi hanya diberikan kepada lulusan sekolah keguruan atau fakultas pendidikan universitas. Bagi non lulusan fakultas pendidikan diperkenankan mengikuti ujian seleksi yang penanganannya dilakukan oleh komite khusus sertifikasi guru (MEXT, 2007).

Monbukagakusho memberlakukan sistem "School Councillor", yang pada tahun 2003 tercatat hampir 7.000 sekolah memiliki badan ini. Pemerintah juga menganjurkan sekolah untuk lebih terbuka kepada masyarakat dan orang tua melalui pelaksanaan evaluasi sekolah oleh pihak luar sekolah (gaibu gakkou hyouka), yang dengan ini pula sekolah harus lebih transparan dalam mengungkapkan proses belajar mengajar di sekolah, juga admnistrasi dan manajemen sekolah.

Sistem sertifikasi ulang yang dikenal dengan "Kyōinmenkyokōsinsei" (sistem pembaruan sertifikasi guru) tidak saja merupakan jawaban terhadap perubahan sosial masyarakat tetapi juga sebagai salah satu instrument pelengkap pelaksanaan sekolah yang terbuka kepada konsumernya.Dengan kebijakan ini, guru-guru diharuskan untuk mengikuti `training penyegaran` setiap 10 tahun sekali. Dalam definisi Monbukagakusho, kriteria guru yang bermutu harus disesuaikan dengan era global dan perubahan struktur masyarakat Jepang yaitu, karena semakin panjangnya daya hidup orang Jepang dan semakin menurunnya jumlah kelahiran, yang menyebabkan masyarakat Jepang menuju kepada `aging society`, yaitu masyarakat dengan populasi penduduk usia tua lebih banyak daripada penduduk usia muda.

Ide untuk melaksanakan sertifikasi ulang terhadap lisensi mengajar bukan hal yang mudah diterima oleh kalangan guru di Jepang, apalagi data guru yang tidak layak mengajar (shidō fuzoku kyouin) sebagian besar adalah guru-guru senior. Sebagaimana dipahami masyarakat Jepang sangat menghormati system senioritas, terbukti dengan adanya sistem gaji berdasarkan senioritas dan masa kerja yang lama, pun juga berbagai kelebihan dalam dunia bisnis yang dimiliki oleh senior. Gaji guru yang telah bekerja 20 tahun di Jepang lebih besar daripada gaji guru yang sudah bekerja 5 tahun. Dalam bisnis di Jepang pun sangat mudah terjadi transfer pekerjaan dari satu tempat ke tempat lain, baik dalam perusahaan yang sama ataupun perusahaan yang berbeda bidang.Sistem training di dalam tempat bekerja pun menjadi hal yang lazim. (Watanabe & Edwin,1993).

Sistem pengembangan profesionalisme guru di Jepang juga menganut sistem senioritas, yaitu guru-guru senior berkewajiban membimbing guru-guru baru. Penulis hendak mengutip apa yang pernah penulis tuliskan dalam blog Berguru, blog tentang pendidikan Jepang dan Indonesia yang penulis buat sebagai berikut :
“Tradisi pelatihan guru muda di Jepang tidak berubah, yaitu setahun pertama semua guru fresh graduated harus menjalani in-service training, untuk mengenali semua tugas dan kewajiban administratur sekolah (kepala sekolah, wakasek, dan pejabat lain), serta memahami tugas guru. Penulis pernah membaca sebuah laporan hasil training seorang guru muda dan sangat mengagumkan karena guru tersebut menuliskan secara detil apa saja kegiatan yang harus dilakukannya detik per detik sejak dia datang ke sekolah hingga pulang. Dan yang lebih mencengangkan, dia telah mengamati seharian kerja wakasek, sehingga secara detil mengurutkan apa yang harus dilakukannya setiap hari. Di sekolah-sekolah Jepang, orang yang paling sibuk sehari-harinya adalah wakasek. Wakasek hanya ada satu orang, dan dia yang bertugas mulai dari mengecek bel sekolah sampai mengagendakan kegiatan harian kepala sekolah. Barangkali tidak sama dengan Indonesia yang guru-guru mudanya lebih “berani” berkata keras atau berselisih paham dengan guru senior, di Jepang hal ini hampir tidak pernah ditemukan. Tradisi yang kuat berakar bahwa senior harus didengarkan dan dihormati masih terus dipegang, dan orang yang menentangnya akan segera dikucilkan.Lalu bagaimana kalau berselisih paham? Jika memiliki ide baru, si guru muda harus membuktikannya dalam perbuatan dulu. Maksudnya tidak sekedar dalam taraf ucapan, tapi harus sampai pada taraf aplikasi. Dan satu hal yang harus diingat, kalimat dan ucapan yang harus dipergunakan ketika berbicara dengan guru senior adalah kalimat yang sangat sopan. Biasanya lulusan perguruan tinggi telah belajar sistem penghormatan kepada senior di level SMA dan di PT. Sama halnya dengan Indonesia, tidak semua guru senior di Jepang adalah guru yang baik. Tetapi sistem pendidikan guru dan perekrutannya sudah diusahakan baik, maka harapannya jika sistem berjalan baik, tentunya akan meraih sukses seperti yang dimaui. Ibaratnya kita membicarakan hukum pemberantasan korupsi, jika hukumnya telah baik, maka tinggalah mendidik agar oknumnya 50% lebih mematuhi dan menjalankan hukum itu. Dan saya berani menyimpulkan bahwa 50% lebih guru Jepang menjalankan sistem dengan baik. Guru senior berkewajiban mendidik guru junior. Tentu saja jika guru seniornya kurang baik, maka hasilnya bisa saja guru junior pun kurang baik, atau bisa juga guru junior mampu memperbaiki diri. Tapi pola pembinaan senior junior adalah mutlak dilakukan”.

 
Referensi :
> Hara, K. 2007. Gakkō kyōikukateiron. Tokyo: Gakkobunsya
> Watanabe, A. and Edwin L. Herr. 1993. “Career Development Issues Among Japanese Work Groups.”  Journal of Career Development, Vol. 20, pp 61-72
> Ramli,M. 2008a. Apa Yang Seharusnya Diajarkan Kepada Anak Tentang Kota Dan Transportasi ? Inovasi Online, 10 (10), pp. 61-66.PPI Jepang
> Kebijakan Evaluasi Guru di Jepang,Educationist,2(2), pp.112-122. Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung bekerjasama dengan LPTKI
> Membina Siswa dan Sekolah Sehat di Jepang. Inovasi Online, 13 (22), PPI Jepang

Situs Internet :
Ministry of Education, Culture, Sports, Science and Technology (MEXT)
(http://www.mext.go.jp/english/)

Analisis Sederhana Mengenai Permasalahan BBM di Kabupaten Berau

(Menyikapi Hasil Kesimpulan Pembicaraan Pemda Kab. Berau, DPRD dan Pihak Terkait Lainnya)

“BBM’s deficit constitute moral problem that did by some people which have no sensed accountability which impacted to all party”

Permasalahan BBM dan Konsekuensi UU Migas

Tanggungjawab penyediaan BBM memang berada di tangan Pertamina. Namun, kondisi kemampuan produksi migas dan BBM tidak sepenuhnya berada di tangan Pertamina. Hal ini berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas, Pertamina tidak memiliki lagi kekuasaan untuk mengatur pemegang kontrak “Production Sharing”. Sebab, kewenangan tersebut sudah berada di tangan BP Migas. Sementara kedudukan Pertamina sama dengan pemegang kontrak, namun masih harus dibebani dengan kewajiban menyediakan BBM untuk kebutuhan dalam negeri. Dengan kondisi tersebut, Pertamina pasti mengalami kesulitan untuk berupaya memacu produksi migas dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam negeri. Namun, kelangkaan dan kekacauan distribusi juga tidak bisa dikatakan sebagai kesalahan Pertamina. Sebab, masalah produksi BBM yang terkait dengan subsidi juga berkaitan dengan kelancaran pendanaan dari Pemerintah yang harus diserahkan kepada Pertamina untuk memproduksi BBM. Jika masalah pendanaan tersebut tidak lancar atau seret atau mengalami stagnan, maka akan menyebabkan kemampuan produksi BBM oleh Pertamina akan terganggu. Inilah yang juga menjadi salah satu faktor atau gejala timbulnya kelangkaan BBM seperti sekarang ini? masalah pendanaan dari Pemerintah yang dikenal dengan sebutan “subsidi”.

Pemerintah, dalam hal ini termasuk juga Pertamina, masih belum mampu menunjukkan “Performance” usahanya secara efisien, apalagi menunjukkan kinerjanya sebagai “World Class Company”. Pertamina selama ini masih digelayuti oleh berbagai politik kepentingan (Vested Interest), sehingga tidak transparannya dalam memberikan gambaran secara tuntas dan jelas kepada publik mengenai berapa “Cost” produksi BBM, serta belum dapat meningkatkan efisiensi dalam proses produksi penyediaan BBM, sehingga biaya produksi BBM menjadi tinggi dan harga jualnya pun menjadi lebih mahal alias melambung tinggi. Seperti syair lagu yang pernah dinyanyikan bang Iwan Fals, “…BBM membumbung tinggi… BBM naik tinggi susu tak terbeli, orang pintar tarik subsidi, mungkin bayi kurang gizi…”

Analisis Sederhana Permasalahan BBM di Kabupaten Berau

Populasi penduduk Kabupaten Berau mencapai 177.444 jiwa (berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010). Terhitung kurang lebih 80% seluruh penduduknya memiliki kendaraan roda dua pribadi dan sekitar 40% masyarakat Berau memiliki kendaraan roda empat pribadi ( ini tidak termasuk kendaraan milik perusahaan). Jika diakumulasikan secara sederhana, penggunaan BBM jenis premium –dalam hal ini Bensin sebagai penggerak utama kendaraan– rata-rata pemakaian untuk hitungan 1 unit kendaraan roda dua hanya berkisar kurang lebih 1 minggu pemakaian dengan menghabiskan 4 liter bensin (rata-rata pengisian full-nya dalam 1 unit kendaraan roda dua hanya 4 liter). Kemudian, jika dalam hitungan 1 bulan, rata-rata pemakaian bensin untuk 1 unit motor hanya menghabiskan sekitar 16 liter/bulan (jika pemakaiannya rutin setiap hari). Yang jadi pertanyaan adalah, berapa banyak pemakaian BBM berjenis bensin untuk kendaraan roda dua yang ada di Kabupaten Berau dalam hitungan pemakaian perbulannya, yang setiap hari jumlah kendaraan roda dua tersebut semakin meningkat? Kalkulasi sederhananya adalah, misalkan jumlah kendaraan roda dua sebanyak 5.000 unit, maka rata-rata pengeluaran/pemakaian bensin perbulannya berkisar sekitar 80.000 liter atau 80 kiloliter (ton).

Lalu, bagaimana dengan akumulasi pemakaian BBM untuk kendaraan roda empat (mobil)? Hitungan sederhananya lagi adalah, misalkan 1 unit mobil rata-rata berat isi bahan bakarnya mencapai sekitar 40-45 liter (full), jika digenapkan menjadi 40 liter. Jadi, untuk 1 unit mobil dengan kapasitas tangki minyak 40 liter, maka rata-rata penggunaannya hanya sekitar 1-2 minggu saja (jika mobil tersebut digunakan/dipakai setiap hari). Itu artinya, jika dalam hitungan 1 bulan, rata-rata 1 unit mobil bisa menggunakan 80 liter bahan bakar (bensin)/bulan. Lalu, bagaimana kalau misalkan jumlah kendaraan roda empat (mobil) tersebut dihitung dalam jumlah sebanyak 500 unit. Kalkulasi sederhananya adalah, 500 unit mobil dapat menghabiskan bensin sekitar 80 kiloliter (ton) perbulannya. Hitungannya sama dengan kalkulasi kendaraan roda dua diatas.

Kemudian, bagaimana dengan jenis kendaraan lain yang bahan bakarnya juga menggunakan bensin jenis premium, misalkan mesin ketinting, mesin speed boat dll. Untuk mesin ketinting misalnya, jika 1 unit mesin ketinting (digunakan setiap hari), maka pemakaiannya –biasanya– hanya sekitar 1 minggu, dengan berat isi 4 liter (full). Pertanyaannya, bagaimana jika jumlah mesin ketinting tersebut mencapai 100 unit, berapa rata-rata pemakaian bahan bakar yang digunakan dalam hitungan 1 bulan? Kalkulasi sederhananya adalah, 100 unit mesin ketinting rata-rata pemakaian bahan bakar –bensin– mencapai sekitar 1,600 liter atau sama dengan 1,6 kiloliter (ton). Itu artinya, 100 unit mesin ketinting menghabiskan sekitar 1,6 ton bensin perbulannya (jika dipakai setiap hari). Jumlah kalkulasi dari rincian sederhana tersebut, dapat di tabelkan sebagai berikut:

No.-Jenis Kendaraan--Jml (Unit)--Jml Pemakaian (Bensin)--Jenjang Waktu
1. Roda dua--5.000--80.000--1 bulan
2. Roda empat--500--80.000--1 bulan
3. Mesin Ketinting--100--1.600--1 bulan
Jumlah--5.600--161.600

Berdasarkan data dan informasi yang didapat dari beberapa sumber? Pemasukan BBM jenis premium untuk Kalimantan Timur dari Pertamina telah mengalami jumlah yang sangat signifikan karena sudah sesuai dengan kebutuhan dan standarisasi permintaan. Memang jika melihat dari penjelasan oleh Unit Pemasaran VI Pertamina Balikpapan yang memprediksi bahwa krisis bahan bakar minyak (BBM) jenis premium maupun solar terjadi diseluruh kota dan kabupaten di Kalimantan pada akhir 2010 kemarin hingga awal 2011 ini. Suplay pasokan BBM di Kalimantan sudah nyaris melampaui ambang kuota. Itu artinya awal 2011 ini tidak ada lagi pasokan BBM”, ini disampaikan oleh Asisten Manager Relationship Pertamina Upms Balikpapan, Bambang Irianto. (Lihat : Tempo Interaktif, Kamis, 23/09/2010). Bambang juga mengatakan sisa kuota premium di Kalimantan Timur itu sebanyak 131.666 kiloliter dengan rata-rata konsumsi setiap bulannya mencapai 444.188 kiloliter. Ini berarti kuota premium untuk Kalimantan Timur sudah habis pada akhir 2010 kemarin karena pasokannya sudah tidak ada. Adapun kuota solar untuk Kalimantan Timur, hanya tersisa sekitar 32.643 kiloliter dari total kuota sebanyak 171.984 kiloliter dengan rata rata konsumsi per bulannya mencapai 17.959 kiloliter. Dengan asumsi ini sisa pasokan solar Kalimantan Timur dipastikan sudah habis dan tidak ada lagi untuk akhir tahun 2010 kemarin.
Tentu hal ini menjadi polemik yang menakutkan bagi masyarakat khususnya masyarakat Berau –sebagai konsumen– yang dimana setiap hari jumlah kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat semakin meingkat.

Berdasarkan analisis hemat saya, salah satu faktor terjadinya kelangkaan BBM di Kabupaten Berau adalah dikarenakan gejala kurangnya “Fought Out” dari Pemerintah Daerah dan DPRD dalam menanggulangi permasalahan BBM ini. Terjadinya kelangkaan BBM sebenarnya sudah sekian lama, sudah bertahun-tahun, namun karena tidak ada tindakan serius sehingga masalah ini terus berlarut-larut.

Dari hasil kesimpulan pembicaraan antara Pemerintah Daerah Kabupaten Berau, DPRD, pihak Pertamina, pihak SPBU, aparat, perwakilan masyarakat yang tergabung dalam Forum Aspirasi Rakyat Pinggiran dan Lembaga Adat Berau Bersatu serta pihak terkait lainnya, yang berlangsung pada hari Selasa tanggal 5 Mei 2011 di ruang rapat gabungan Komisi DPRD Berau, yakni dengan kesimpulan sebagai berikut :
1. Akan dibentuk Tim penanggulangan kelangkaan BBM yang didalamnya melibatkan instansi dan masyarakat;
2. Tim secara bersama melakukan monitoring dan penertiban dilapangan terhadap para pengecer dan penimbun yang tidak bertanggungjawab;
3. Pemberian sanksi tegas terhadap pihak SPBU yang terbukti melakukan penyimpangan; dan
4. Penertiban dilapangan terhadap para pengecer yang sempat dilakukan namun tidak efektif dikarenakan terganjal dengan terbatasnya anggaran operasional. Dan saat ini anggaran tersebut sudah siap digunakan.

Maka yang harus dilakukan Pemerintah Daerah dan DPRD adalah:
Pertama, segera merealisasikan tindak tegas yang telah disepakati dalam pembicaraan tersebut;
Kedua, menyerukan masyarakat Berau untuk bersikap kritis, kooperatif dan “Coercive Discipline” agar tidak terjadi penyalahgunaan atau penyelewengan lagi oleh sebagian pihak yang tidak bertanggungjawab;
Ketiga, kerjasama yang signifikansi harus dilakukan antara Pemerintah Daerah, DPRD, aparat, pengelola SPBU, masyarakat dan juga mahasiswa untuk selalu mengawasi pemasukan “Fuel Supplay” dan pendistribusian BBM di Kabupaten Berau.
Penulis juga berasumsi bahwa hasil dari kesimpulan tersebut tidaklah cukup untuk mengatasi permasalahan BBM yang terjadi sekarang ini yang sudah sangat kritis, baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Karena, jika dicermati kelangkaan BBM jenis premium sekarang ini memang tidak hanya terkait dengan kapabilitas kemampuan Pertamina dalam mendistribusikan BBM secara merata. Namun kelangkaan tersebut juga terkait dengan kemampuan Pemerintah, dalam hal ini Pemerintah Daerah –telah disebutkan diatas– dalam memberikan dan mencairkan dana untuk produksi BBM kepada Pertamina dan tidak transparannya sistem kerja SPBU itu sendiri. Keterlambatan inilah yang kemudian menyebabkan pasokan BBM menjadi tersendat.

Selain faktor tersebut, ada beberapa hal lain yang juga mengakibatkan langkanya BBM di Kabupaten Berau, diantaranya adalah:

1. Dari sisi logistik atau sarana prasarana (tranportasi).
Sebelum Depo BBM yang berada di Kampung Samburakat Kecamatan Gunung Tabur dibangun yang telah mengabiskan dana investasi sebesar Rp. 118 miliar dan sampai saat ini belum bisa dioperasikan. Sarana prasarana transportasi pengiriman BBM yang masuk ke Berau sangat terbatas. Pengirimannya pun hanya menggunakan LCT (melalui transportasi air) atau tongkang minyak untuk suplay khusus ke perusahaan, (untuk perusahaan seperti perusahaan tambang dalam hal ini BBM jenis Solar). Dan untuk SPBU yang berada di Kecamatan Sambaliung misalnya, pihak pengelola hanya mampu menyediakan sarana 1 sampai 2 LCT saja yang berkapasitas atau berat muatannya sekitar 100-200 ton saja. Pengiriman pun dilakukan sebanyak 2-3 kali dalam setiap bulannya, namun itu juga tidak merata. Itu artinya suplay BBM yang menggunakan LCT tersebut bisa dihitung dalam hitungan ret saja, 2-3 ret perbulan. Begitu juga SPBU yang ada di Jl. Rinding Raya, Kelurahan Rinding yang sama-sama satu kepemilikan, hanya menggunakan transportasi jenis LCT yang besar muatannya sekitar 150-200 ton. Begitu juga dengan SPBU yang ada di Maluang Kecamatan Gunung Tabur, setiap bulannya hanya dapat melakukan pengiriman BBM dari Depo BBM Tarakan antara 2 sampai 3 kali saja dalam sebulan dan itu juga menggunakan LCT. Sedangkan LCT dalam kapasitas yang 200-300 ton tersebut hanya dapat terdistribusikan kurang lebih 1 minggu saja, karena dihitung berdasarkan jumlah kendaraan roda dua maupun roda empat di Kabupaten Berau yang setiap harinya selalu bertambah. Belum lagi jenis kendaraan (mesin) lain yang bahan bakarnya menggunakan bensin, seperti mesin ketinting dan mesin speed boat –telah disebutkan diatas–. Ini menandakan bahwa pengiriman yang dilakukan tidak bisa dilakukan hanya 2-3 kali setiap bulan melainkan lebih dari itu, bisa 3 sampai 5 kali setiap bulannya. Atau dengan menambah besar muatan pada setiap LCT, bisa digunakan LCT yang berkapasitas antara 500-800 ton. Jika saja hal ini dilakukan sebelumnya tentu kelangkaan BBM di Berau tidak sedemikian parahnya terjadi hingga saat ini, dan tentu harus ada kerjasama antara Pemerintah Daerah, Pengelola SPBU dan Pertamina. Terutama dalam masalah pendanaannya. Adapun SPBU yang berada di Kelurahan Bujangga, sarana transportasi yang digunakan hanya 1 LCT saja dengan besar muatan sekitar 200 ton. Pembagiannya 150 ton untuk Bensin jenis premium dan sisanya 50 ton untuk Solar. Pengiriman pun maksimalnya 4 kali dalam sebulan yang diambil dari Depo BBM Tarakan, itupun tidak rutin.

2. Pengetapan oleh sebagian pihak yang tidak memiliki rasa tanggung jawab untuk mencari keuntungan materi demi kepentingan pribadi.
Indikasi seperti ini bisa dikatakan sebagai bentuk pelanggaran moral yang berdampak kepada semua pihak. Kelangkaan BBM di Kalimantan Timur, adalah akibat ulah pengetap atau pemborong. Hal itu telah ditemukan faktanya di lapangan dan juga sudah dikemukakan dalam rapat kerja antara Pertamina dan Kepolisian Daerah Kaltim di Mapolda Kaltim pada tanggal 14 Agustus 2010 lalu. General Manager Unit Pemasaran VI Pertamina Balikpapan, Alfian Nasution mengatakan, “Pihaknya telah menyalurkan BBM bersubsidi hingga melebihi kuota. Namun, tetap terjadi kelangkaan. Itu diduga akibat pembelian besar-besaran oleh warga karena takut tidak kebagian. Keadaan diperparah lagi dengan pembelian menggunakan jerigen oleh masyarakat yang kemudian dijual kembali secara eceran. Kejadian serupa pun sering terjadi pada tahun 2009 lalu yang mengakibatkan Pertamina dirugikan hingga mencapai Rp. 1,4 triliun. Lalu, bagaimana pengawasan SPBU di Berau? Kalau sekiranya ada ketegasan dari Pemerintah Daerah dan aparat untuk mensinyalir keadaan di lapangan dengan melakukan pengawasan rutin, tentu hal-hal yang tidak diinginkan yang dapat merugikan masyarakat tersebut tidak terjadi. Seperti halnya pengetapan tersebut.

3. Penyimpangan kerja yang tidak prosedural yang sengaja dilakukan oleh karyawan SPBU dengan mensetting alat pengisian. Berdasarkan temuan di lapangan dan interview beberapa orang eks karyawan SPBU, hal ini sering terjadi hampir di semua SPBU yang ada, salah satu faktor penyebabnya adalah dikarenakan rendahnya upah minimum regional (UMR) karyawan SPBU yang masih dibawah Standar Basis UMR wilayah Berau. Dan hal itu juga bisa dikarenakan karena faktor disengaja dengan tujuan hanya ingin menambahkan penghasilan. Hal ini tentu merugikan pengelola SPBU secara materi. Jika saja gajih karyawan SPBU dinaikkan maka hal seperti ini tidak akan terjadi, kecuali mereka yang memang tidak memiliki rasa tanggung jawab dan disiplin kerja.
Keempat; adanya indikasi penumpukkan stok BBM yang sering dilakukan pihak SPBU.
Mungkin ini dipicu karena saingan bisnis, atau bisa disebut dengan istilah “Diskriminasi Bisnis”, sebutan ini mungkin pas untuk pihak SPBU. Karena usut punya usut mereka sering melakukan penumpukkan BBM, yang seharusnya hal ini tidak dilakukan. Kalau dilihat dari efektifitasnya, tindakan ini tidak menguntungkan pihak SPBU itu sendiri tapi malah merugikan karena target penjualan tidak stabil.

Berdasarkan fakta diatas, maka “Solusi” yang dapat dilakukan dengan mempertimbangkan kesimpulan hasil pembicaraan Pemerintah Daerah, DPRD dan pihak-pihak terkait lainnya, adalah :

1. Pembentukkan TIM Penanggulangan Kelangkaan BBM tidak hanya dilakukan oleh instansi terkait dan masyarakat saja. Akan tetapi harus ada pembentukkan TIM yang melibatkan seluruh elemen, termasuk salah satunya adalah dari para mahasiswa yang amanah dan profesional, yang bekerja berdasarkan pengarahan Pemerintah Daerah dan DPRD;

2. Pemberian sanksi tegas terhadap pihak SPBU bisa dilakukan dimulai dari pemiliknya (pengelola) dan juga karyawan-karyawannya. Dari hasil temuan yang penulis pernah dapatkan, adanya penyimpangan kerja (Job Deviation) yang dilakukan oleh para karyawan SPBU yang sangat mempengaruhi cepat habisnya stok BBM di SPBU tersebut. Rata-rata hampir disemua SPBU yang ada, karyawannya dengan mudah melakukan penyelewengan dalam pendistribusian tanpa sepengetahuan pimpinan. Misalnya, menjual secara sembunyi-sembunyi dengan jumlah yang cukup banyak, atau dalam hitungan ton.

3. Mengenai persiapan anggaran dana operasional untuk melakukan penertiban terhadap para pengecer dilapangan, menurut penulis hal ini tidak mesti harus dilakukan. Mengapa? Karena, jika aparat bekerja sesuai dengan kinerjanya, maka demi kepentingan bersama (Pint Interest) dan kepentingan masyarakat (Public Interest) guna mensejahterakan masyarakat, sebagai aparat yang bekerja secara profesional tentu tidak harus mengeluarkan anggaran dana operasional tersebut. Ini bukan penghematan, akan tetapi menurut asumsi penulis anggaran seperti itu harusnya dibuatkan untuk keperluan lain yang estimasinya harus benar-benar signifikan. Dan jika melihat berdasarkan kebutuhan primer, para pengecer secara tidak langsung juga sangat membantu masyarakat (konsumen) yang mempunyai waktu tidak banyak untuk melakukan pengisian di SPBU, sehingga masyarakat (konsumen) merasa terbantu dengan adanya para pengecer BBM yang berposisi di pinggir-pinggir jalan. Hanya saja yang mungkin memang harus di follow-up, ditindaktegas (put foot down) dan diperhatikan oleh Pemerintah Daerah adalah melakukan pembatasan terhadap para pengecer tersebut, dalam hal ini melakukan tindak razia rutin yang apabila ditemukan dari para pengecer tidak memiliki Izin Usaha maka harus diberikan kemudahan untuk mengurus Izin Usaha dengan memberikan berbagai pertimbangan-pertimbangan yang tidak memberatkan dan tidak merugikan para pengecer tersebut.

4. Berdasarkan temuan yang pernah penulis dapatkan di lapangan, dan interview dari beberapa eks karyawan SPBU, salah satu penyebab kelangkaan BBM adalah adanya indikasi yang bisa dikategorikan sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh para karyawan SPBU –telah dijelaskan diatas– diantaranya :
- Membiarkan sebagian orang dengan leluasa melakukan pengisian secara berulang-ulang, dengan memberikan “uang jasa” kepada karyawan yang berkisar antara Rp. 20,000 sampai Rp. 50,000 sebagai simbolik kerjasama antara karyawan dan pelaku pengisian tersebut.
- Mensetting alat pompa pengisian yang tidak wajar, yang tidak sesuai dengan takaran hitungan pengisian standar, sehingga dalam hitungan yang seharusnya 1 liter penuh, hasilnya tidak sampai 1 liter penuh. Dan apabila dalam satu kendaraan, misalkan roda dua yang standar pengisian full-nya 4 liter, maka ketika di takar ulang hasilnya tidak sampai full 4 liter. Terlebih untuk kendaraan roda empat, banyak pemilik kendaraan yang memodifikasi tangki minyak kendaraannya yang tadinya rata-rata standar isi (berat isi) hanya 40-45 liter menjadi 70 bahkan mencapai 90 hingga 100 liter. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi dalam pencegahan prihal seperti ini, salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah dengan memperkerjakan SDM yang benar-benar amanah dan profesional dan ahli dalam bidang tersebut. Dan ini harus dilakukan oleh pengelola SPBU bekerjasama dengan aparat yang selalu mengawasi pada setiap pengisian atau pendistribusiannya.

5. Berdasarkan hasil penelitian, bahwa salah satu penyebab kelangkaan BBM adalah rendahnya upah minimum regional (UMR) para karyawan SPBU –telah disebutkan diatas–. Dari beberapa SPBU yang ada, untuk kesejahteraan para karyawannya hanya berkisar antara Rp. 15.000 per hari. Dan basis gajih yang diterima para karyawan hanya sebesar Rp. 850,000 sampai Rp. 950,000 per orangnya. Itu artinya, bahwa basis UMR karyawan SPBU masih dibawah standar UMR. Maka, hal seperti inilah yang mengakibatkan para karyawan bekerja tidak sesuai dengan prosedur kerja yang baik. Sehingga mereka melakukan hal-hal yang tidak baik pula. Oleh karena itu, hendaknya pengelola SPBU harus menaikkan gajih para karyawannya yang benar-benar sesuai dengan UMR dan kebutuhan demi kesejahteraan mereka. Dan harus melakukan sistem dan manajemen kerja yang tranparan, akuntabilitas dan efisien, agar tidak ada diskriminasi antara karyawan SPBU dengan karyawan-karyawan perusahaan lainnya, dalam hal ini efektivitasnya adalah untuk mengalihkan paradigma bahwa semua pekerja baik yang di perusahaan pertambangan maupun distributor dan lainnya harus tetap disamaratakan. Sehingga tidak menimbulkan yang namanya kecemburuan sosial “Social Jealousy” antara para pekerja.

Senin, 09 Mei 2011

Bercermin pada Sistem Pendidikan Jepang

Setelah mengalami Tsunami beberapa waktu lalu, pesatnya perkembangan teknologi dan industri di negeri matahari terbit, sudah tak bisa disangkal lagi dan bahkan bisa dikatakan semakin maju dengan rekonstruksi-rekonstruksi pembangunannya pasac gempa. Berbagai negara berdatangan hendak mencontoh kesuksesan sistem pendidikan yang selama ini dikembangkan di negeri Sakura tersebut. Catatan performa para siswa Jepang terutama dalam bidang matematika dan ilmu alam selama dua dekade terakhir senantiasa menjadi tolok ukur kesuksesan mereka. Namun sebetulnya dibalik kesuksesan itu, Jepang sendiri sempat mengalami kekurangpuasan dengan sistem pendidikan yang mereka miliki, khususnya antara tahun 1980an sampai sekitar tahun 1990an. Akibatnya, kementerian pendidikan berupaya melakukan serangkaian reformasi yang berpengaruh pada kebijakan-kebijakan pendidikan yang berkembang saat ini.
Meski begitu, kebijakan-kebijakan atas reformasi itu sendiri masih sering menjadi bahan perdebatan di kalangan para "stakeholder" dan pemerhati pendidikan.

Menurut catatan Christopher Bjork dan Ryoko Tsuneyoshi, berbagai penelitian yang dipublikasi selama periode dua dekade dari abad ke-20 banyak mengetengahkan isu komparatif guna mengetahui kelebihan dan kekurangan sistem pendidikan di Jepang dibanding dengan negara-negara yang lain. Hasilnya secara umum hanya menggarisbawahi aspek-aspek yang unggul dari sistem pendidikan tersebut, misalnya dasar yang kuat yang ditanam pada para siswa untuk bidang studi matematika dan ilmu pasti, komitmen masyarakat yang kuat pada keunggulan akademik, keselarasan hubungan antara pengajar dan peserta didik, serta budaya pengajaran yang sarat perencanaan dan implementasi yang matang.

Seiring dengan melimpahnya kekaguman berbagai bangsa luar, termasuk Indonesia atas sistem yang dikembangkan tersebut berbagai perdebatan seputar hakikat dan tujuan sistem itu beserta dampak-dampak yang ditimbulkannya mewarnai dinamika pendidikan di negara ini.

Perdebatan ini banyak terjadi antara mereka yang tamat dari sekolah-sekolah dalam negeri dan mereka yang tamat dari luar negari. Selain itu, selama bertahun-tahun sistem pendidikan di negeri sakura ini dinilai terlalu kaku dalam mengaplikasikan ujian masuk bagi para calon siswa baru serta semata-mata menekankan kemampuan ingatan terhadap fakta-fakta yang ada.

Fenomena inilah yang kemudian menggugah kementerian pendidikan, budaya, olahraga, ilmu pengetahuan serta teknologi (MEXT) untuk memelopori “Yutori Kyoiku”, suatu reformasi pendidikan guna meredam intensitas tersebut.

Namun demikian, aplikasi pada reformasi ini bukannya membuat perdebatan reda, tetapi justru menyulut berbagai percikan kritikan baru. Di satu pihak, ada yang berupaya mengembalikan sistem pendidikan Jepang pada agenda awal dengan mengembalikan fungsi kurikulum secara penuh. Di lain pihak ada yang bersikukuh mendorong Jepang makin meningkatkan standar akademik, seiring dengan pengembangan program "Super Science" untuk siswa-siswi sekolah lanjutan atas, yang notebene untuk mereka dengan kemampuan di atas rata-rata.

Kecenderungan sosial akademik ini tidak bisa dibendung dan sejumlah sekolah lokal mengembangkan kebijakan orientasi pada pasar (market-oriented policies) seperti misalnya berlomba-lomba untuk menjadi sekolah pilihan.

Berbagai perdebatan yang muncul tersebut seakan-akan mempertanyakan sistem pendidikan yang sedang berkembang di Jepang saat itu, bahkan ada beberapa dari mereka berpendapat bahwa sistem pendidikan Jepang saat itu ada dalam suatu titik genting. Di tengah-tengah tantangan untuk mengurangi beban tekanan akademis bagi para siswa, pengembangan motivasi belajar, kemampuan berpikir kritis ada sejalan dengan upaya untuk membekali para siswa pada kemampuan-kemampuan akademik dasar.
Para pendidik pun disibukkan untuk menggali berbagai pendekatan yang sekiranya tidak hanya bisa menjawab pertanyaan para "stakeholder" tersebut, namun juga bisa tetap berada pada jalur kurikulum yang telah mereka sepakati.

Perkembangan dalam sistem pendidikan Jepang modern, yang sebetulnya sudah dimulai semenjak akhir Perang Dunia II membawa berbagai dampak dalam kehidupan masyarakatnya. Seiring dengan pesatnya perkembangan ekonomi negara ini, memungkinkan hampir seratus persen warganya bisa mengenyam pendidikan dasar dan tercatat sekitar 90% dari orang muda Jepang berkesempatan melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang pendidikan menengah atas.

Disinilah fenomena ujian masuk menjadi suatu mekanisme utama guna menyalurkan para siswa muda tersebut. Namun karena tidak semua siswa berhasil, baik itu berhasil menjadi siswa dari sekolah yang mereka impikan atau bahkan berhasil untuk lulus ujian masuk sekalipun, maka "Yutori Kyoiku" mulai dicetuskan terlebih guna membuat para siswa lebih rileks menjalani proses pembelajaran yang selama ini mereka alami.
Kemudian kurikulum 2002 disahkan menjadi kurikulum nasional yang telah direvisi dari kurikulum sebelumnya serta disesuaikan dengan semangat "Yutori Kyoiku". Muatan pada kurikulum itu sendiri dikurangi hingga 30%. Ini berpengaruh pada jumlah jam tatap muka guru dan siswa, termasuk untuk bidang studi matematika dan IPA dari 175 jam di tahun 1977 menjadi 150 jam di tahun 1998. Kebijakan ini selanjutnya mempengaruhi juga hari efektif sekolah yang berkurang dari 6 hari menjadi 5 hari.
"Yutori Kyouiku" juga memberi kesempatan bagi siswa kelas 3 sekolah dasar sampai dengan kelas 12 sekolah lanjutan untuk mengalami proses belajar di luar kelas, melalui program yang dikenal sebagai program terpadu "sogotekina gakushu". Tujuan utama program ini memberi kesempatan para siswa untuk belajar mandiri serta berpikir kritis.

Nilai hasil belajar tinggi yang mereka peroleh di kelas akan menjadi mubazir apabila mereka tidak bisa menterjemahkannya dalam lingkungan sosial mereka sehari-hari. Oleh sebab itu, atas kerjasama dengan pemerintah, sekolah dan dengan berbagai perusahan serta lembaga setempat, anak-anak sekolah dalam waktu-waktu tertentu dilibatkan dalam proses produksi suatu usaha atau layanan jasa. Melalui keterlibatan tersebut, siswa diminta untuk melakukan observasi dan terbuka dengan berbagai pertanyaan kritis. Hasil penelitian itu selanjutnya akan mereka catat dan presentasikan sebagai kesimpulan dari proses belajar.

Poin yang ingin digarisbawahi melalui program ini, bahwa proses belajar tidak hanya terbatas dalam lingkup sekolah saja. Memang sekolah diakui sebagai tempat pertama pengembangan aspek kognitif siswa, namun lingkungan di luar sekolah pun sama pentingnya, terutama sebagai ajang pembelajaran dan pengembangan aspek psikomotorik serta afektif mereka. Kesinambungan antar semua proses belajar ini akan membawa para siswa untuk memiliki “kemampuan baru” dan hal ini oleh kementrian pendidikan dijadikan batu pijakan reformasinya menuju suatu visi pendidikan ke depan.
Prinsip ini berusaha menjawab permasalahan yang dikritik sebelumnya tentang superioritas sekolah yang terlalu besar serta kaku. Sebelumnya pendekatan tradisional sekolah inilah yang disinyalir membuat para siswa pasif dengan lebih menekankan kemampuan siswa untuk mengingat fakta daripada membimbing mereka untuk berpikir serta berkreasi.

Apakah reformasi pendidikan di negeri asal Mushashi ini bisa berlangsung dengan lancar? Seperti telah disinggung sebelumnya, bahwa berbagai perdebatan sengit muncul seiring dengan diterapkannya kebijakan baru ini. Beberapa pihak mengkritik hasil ujian Matematika dan Ilmu Alam menurun sejak dibuatnya program yang membuat siswa lebih rileks dalam menjalani proses pendidikannya dan ini dinilai sebagai suatu kemunduran. Namun MEXT sendiri menanggapi bahwa fenomena hasil itu bukanlah suatu kemunduran tapi refleksi terhadap suatu proses.

Lebih lanjut beberapa ahli yang mendukung ide pendidikan liberal, berpendapat bahwa perdebatan terhadap krisis pendidikan adalah suatu reaksi kegelisahan sementara, yang secara kebetulan disulut oleh munculnya berbagai kesulitan dan stagnasi ekonomi global saat ini. Selain itu munculnya rasa kurang percaya diri mereka pada sistem politik national dan kekawatiran terhadap moral anak muda Jepang juga menjadi tren berbagai masalah sosial belakangan ini. Oleh karena itu, sekolah sangat diharapkan mampu mengembangkan pola berpikir kritis ini, yang dalam prakteknya tidak dipisahkan dari proses belajar secara keseluruhan itu sendiri.
Para pengajar dan orang tua pun mengalami dampak langsung dari aplikasi “Yutori Kyoiku” ini. Banyak staf pengajar juga awalnya cukup kelimpungan dengan sistem baru ini. Selain karena sistem ini seakan memutarbalikkan haluan yang selama ini sudah mereka telusuri secara nyaman, tuntutan pengembangan pola berpikir kritis menjadi tugas baru yang besar, di luar tugas utama mereka untuk tetap menjadikan para siswanya mahir dalam kemampuan pendidikan dasar.

Namun sebagian besar dari para pengajar ini mensyukuri kehadiran sistem baru ini beserta metode terpadunya karena mereka melihat para murid menjadi lebih termotivasi dengan apa yang ingin mereka tekuni. Lebih lanjut, para pengajar pun punya kesempatan lebih luas untuk mendalami konsep-konsep mengajar dengan adanya pengurangan waktu tatap muka tersebut.

Lalu bagaimana dengan pandangan orang tua? Dari hasil jajak pendapat yang dilakukan MEXT pada tahun 2003, diketahui bahwa hanya sebagian dari orang tua yang menyadari keberadaan sistem yang baru ini, namun kebanyakan dari mereka belum mengenal baik spesifikasi pada reformasi sistem ini. Mungkin hanya sekitar 20 persen dari mereka yang sudah mencermati dan mengerti sampai pada tujuan diterapkannya sistem ini. Akan tetapi bagi para orang tua yang memiliki tingkat mobilitas tinggi, keberadaan sistem ini akan membuat mereka lebih nyaman untuk membawa serta anak-anak ke tempat mereka bertugas, karena tuntuntan sekolah setempat tidak lagi seketat dan sekaku sebelumnya.

Akhir kata, sistem pendidikan Jepang modern yang dimulai setelah perang dunia II ini memang dirancang untuk sebuah negara dengan perkembangan modernisme yang tinggi. Selama ini sistem pendidikan di Jepang dianggap sukses dan efesien dalam mengajarkan para siswanya dan menjadikan mereka berprestasi, namun semua itu ternyata belum cukup. MEXT dan para ahli pendidikan jaman ini menegaskan apabila pendidikan hanya ditekankan guna menyiapkan siswanya untuk duduk pada ujian masuk, ditambah dengan beban sejumlah besar muatan kurikulumnya akan menumpulkan minat belajar mereka. Untuk menjawab tantangan ini, berbagai upaya guna penerapan pola berpikir kritis, aplikasi pengetahuan pada kehidupan nyata serta metode “hands-on learning” menjadi tren yang baru di negeri ini.

Di balik semua itu apa hikmah yang bisa kita ambil buat sistem pendidikan di negara kita? Memang sistem pendidikan di negara kita mungkin tidak sekaku apa yang terjadi di Jepang, tapi bagaimana dengan konsistensi, efisiensi dan efektifitas dari proses itu sendiri? Ini tidak hanya menjadi pekerjaan rumah bagi para penulis kebijakan, tapi juga semua aspek termasuk guru dan orang tua siswa. Walau lain lubuk memang lain belalangnya, namun semoga informasi ini bisa menggugah semua pihak yang berkecimpung atau tertarik dengan sistem pendidikan nasional Indonesia.

Sumber : KOMPAS.com
Baca juga artikel terkait :
• PARADIGMA PENDIDIKAN MASA DEPAN
• KYOIKU MAMA

Kajian Pendidikan Komparatif : Kebijakan Privatisasi Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu masalah yang bersifat universal. Semua orang tanpa terkecuali sangat berkepentingan dalam pendidikan. Pendidikan juga merupakan suatu hak yang harus diterima baik melalui sekolah maupun luar sekolah. Bagi orang dewasa pendidikan merupakan kebutuhan dasar dalam rangka mengembangkan kemampuan untuk hidup dan berkarya. Mereka semua membutuhkan semua layanan pendidikan secara proporsional. Sehingga pendidikan merupakan segmen kehidupan yang menjadi kebutuhan publik. Dan untuk melayani kebutuhan publik bagi semua golongan anak dan orang dewasa serta semua lapisan sosial, maka negara sesuai amanat konstitusi berkewajiban menyusun instrumen kebijakan dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar masyarakatnya, yakni pendidikan.

Kebijakan pendidikan menurut Cornoy (1982) merupakan bagian dari kebijakan negara (state policies). Sebagai sebuah produk dari negara, kebijakan pendidikan dipengaruhi dan dilatarbelakangi oleh suatu kepentingan politik tertentu serta harus mendapatkan dukungan politik dari sebanyak mungkin kekuatan politik yang ada. Dukungan politik itu dikenal dengan istilah legitimasi.

Kebijakan pendanaan pendidikan yang berisi menambah atau mengurangi anggaran juga dipengaruhi oleh kepentingan politik dari pengambil keputusan serta membutuhkan persetujuan (legitimation) dari segenap kekuatan politik ataupun kehendak kosntitusi. Bila pengambil keputusan beserta segenap kekuatan politik memandang penting perlunya menaikkan anggaran untuk perbaikan mutu pendidikan, maka pendanaan pendidikan tentu akan meningkat. Namun sebaliknya, jika mereka lebih tertarik kepada bidang lain dan kurang peduli terhadap peningkatan mutu pendidikan, maka pendanaan pendidikan tidak akan mendapatkan porsi lebih baik.

Dalam sejarah pembangunan pendidikan di Indonesia, sektor pendidikan selalu kurang mendapat prioritas pembangunan. Menurut Mohtar Mas’oed (1997) pada masa Orde Lama prioritas pembangunan terletak pada sektor politik, dan pada masa Orde Baru prioritas pembangunan terletak pada sektor ekonomi. Sedangkan pada era reformasi menurut banyak pengamat, semua sektor kehidupan bersifat stagnan. Oleh karena itu sektor pendidikan yang didalamnya menyangkut pendanaan pendidikan masih belum mendapatkan perhatian politik yang memadai.

Kebijakan politik pendidikan pada umumnya terlahir melalui suatu proses 3 tahap, yaitu akumulasi, artikulasi dan akomodasi. Kebijakan politik pendidikan yang dilakukan dengan cara tidak melalui proses wajar sebagaimana telah disebut, pada akhirnya akan menghadapi problem legitimasi. Program legitimasi tersebut biasanya berwujud penolakan masyarakat terhadap kebijakan yang telah diputuskan, atau paling tidak mendapat respon apatis dari masyarakat, sehingga kebijakan itu menjadi illegitimated. Setelah diformulasikan, maka kebijakan pendidikan tersebut diimplementasikan yang kemudian dimantapkan (Linblom dalam Oberlin Silalahi, 1989).

Masing-masing tahap yaitu formulasi, implementasi dan pemantapan memiliki proses yang berbeda yang ketiganya bisa berlangsung secara dialektis. Kebijakan pendidikan terutama dalam hal pendanaan umumnya berisi penetapan sejumlah anggaran yang digunakan untuk membiayai seluruh program kegiatan di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional dengan menggunakan skala prioritas tertentu. Program kegiatan mencakup kegiatan peningkatan mutu, pemerataan, efisiensi, peningkatan peranserta masyarakat, dan akuntabilitas pendidikan baik jalur sekolah maupun luar sekolah.

Dalam kenyataannya, sebagai sebuah produk politik kebijakan pendidikan --terlepas dari penilaian positif atau negatif-- selalu mengandung muatan kepentingan. Kepentingan terpenting dan utama adalah seberapa banyak pihak-pihak pengambil keputusan beserta orang-orang yang masuk kedalam lingkaran penguasa menikmati sebesar mungkin keuntungan atas kebijakannya, seberapa besar kebijakan pendidikan yang diformulasikan dan diimplementasikannya dapat memperkokoh bahkan jika perlu melanggengkan kekuasaannya. Sehingga banyak ahli mensinyalir bahwa apapun rumusannya dan bagaimanapun implementasinya, kebijakan pendidikan selalu dimaknai dan dimanfaatkan untuk kepentingan politik yang lebih besar dari pemegang kekuasaan. Bahkan Gramsci menunjuk dalam banyak kasus bahwa negara telah memanfaatkan pendidikan sebagai kekuasaan hegemonik dalam rangka melanggengkan kekuasaannya (Patria dan Arief, 1999).

Sebagaimana dipaparkan diatas, bahwa pendanaan pendidikan di Indonesia sangat terbatas. Total anggaran pendidikan Indonesia hanya sebesar 1,4% terhadap GNP atau 7,9% dari APBN pada tahun 1995-1997. Sedangkan total anggaran pendidikan di negara-negara maju yang dianggap telah memiliki sistem pendidikan yang mapan, telah mengeluarkan anggaran pendidikan jauh lebih besar. Hasil studi International Development Research Centre (IDRC, 1983) menyebutkan bahwa negara-negara maju (developed countries) umumnya telah membelanjakan dana cukup besar untuk pendidikan, yakni rata-rata 21,3% dari national budget mereka, sementara pada negara-negara sedang berkembang (developing countries) rata-rata hanya membelanjakan 16,3% dari national budget. Hal ini menjadi sangat ironis jika banyak negara telah berlomba meningkatkan anggaran pendidikannya sampai diatas 20% dari national budget.