Salam Ukhuwah, Jalin Silaturahim, Share Ilmu dan Saling Berbagi Informasi

Rabu, 04 Mei 2011

Akibat Liberalisasi Pendidikan di Indonesia

Akibat Liberalisasi Pendidikan di Indonesia
Proses liberalisasi sektor publik di Indonesia ternyata melaui merambah sektor publik di Indonesia. Hal tersebut dibuktikan dengan semakin gencarnya berbagai kebijakan yang dikeluarkan elit mengarah ke arah liberalisasi pendidikan. Kebijakan tersebut jelas merugikan karena mereduksi tanggung jawab negara dalam bidang pendidikan. Konsekuensinya akses pendidikan mejadi semakin tertutup.

Proses reduksi tersebut merupakan konsekuensi dari konsepsi besar neoliberalisme. Menurut Susan Geogre (2000, dikutip dari artikel M Mustafied : 2003), salah satu doktrin neoliberal harus diadopsi negara berkembang adalah pengurangan proteksi sosial bagi warga negara. Korbannnya jelas merupakan negara dunia ketiga termasuk Indonesia yang tergantung dengan lembaga donor dunia.

Baru-baru ini dimasuknya pendidikan menjadi bidang jasa yang dapat ditanamkan investasi modal melalui Pepres Nomor 77 Tahun 2007 merupakan bukti nyata adanya proses liberalisasi pendidikan di Indonesia. Melalui adanya Pepres 77 Tahun 2007, sektor pendidikan merupakan sektor yang dimasukkan dalam daftar untuk penanaman modal. Hal tersebut merupakan langkah mundur bagi pembangunan hak pendidikan di Indonesia karena bila pendidikan dimasukkan dalam investasi maka sudah pasti biaya pendidikan akan naik dan akses bagi rakyat semakin tertutup. Menurut mantan Rektor Universitas Gadjah Mada Sofian Effendi, masuknya bidang pendidikan sebagai bidang usaha terbuka bagi penanaman modal asing, meski dengan persyaratan, jelas mengindikasikan bahwa pemerintah telah memosisikan pendidikan sebagai komoditas. Kekuatiran tersebut tidaklah berlebihan, mengingat angka investasi yang dapat menyentuh 49 persen menurut Pepres tersebut. Hal ini mengindikasikan memang Indonesia telah mengikuti kemauan para kapitalis Internasional dalam pengambilan kebijakan menyangkut sektor publik.

Pepres tersebut tidak dapat dilepaskan dari konstilasi politik Internasional. Fakta menunjukan Kesepakatan GATTs merupakan bukti nyata bahwa liberalisasi pendidikan bukanlah hanya isu semata. Dalam ketentuan GATS sendiri setiap anggota WTO berhak mengajukan permintaan dan penawaran untuk sektor-sektor yang akan diliberalisasi. Jasa pendidikan, jasa keuangan, dan kesehatan merupakan sektor yang ditawarkan untuk diliberalisasi. Adapun batas waktu initial offer dan initial request sektor-sektor jasa yang akan diliberalisasi pada Mei 2005, dan akan dibahas pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) di Hong Kong Desember 2005. Sedangkan dari pihak pemerintah kementerian pendidikan ternyata tidak mengajukan keberatan. Padahal bila pemerintah mengajukan keberatan, pendidikan dapat tidak dimasukkan dalam bidang yang dinegoisasikan. Hal tersebut menunjukan tidak ada itikad pemerintah untuk menolak liberalisasi pendidikan. Walaupun Forum Rektor Indonesia (FRI) dan Majelis Rektor Perguruan Tinggi (MR-PTN) secara resmi telah menyatakan penolakan WTO. Bahkan, pernyataan resminya sudah dikirim ke UNICEF dan WTO. Sayangnya, pihak pemerintah masih mengeluarkan kebijakan yang sejalan dengan kesepakatan yang bermuatan neoliberalisme di Indonesia.

Tidak terpenuhinya amanah konstitusi untuk adanya prioritas minimal 20 % bagi pendidikan oleh pemerintah tidak terelepas dari tidak diprioritaskannya pendidikan oleh Indonesia. Alokasi 20 % merupakan angka minimal sebagai bentuk keseriusan pemerintah dalam hal pendidikan. Sayangnya, sampai hari ini anggaran tersebut belum tercapai. Pada tahun 2007 dari sekitar Rp 495,9 triliun rencana alokasi, pendidikan hanya mendapatkan porsi 10,3 persen atau sekitar Rp 51,3 triliun. Memang secara keseluruhan anggaran pendidikan mengalami kenaikan dari tahun 2006, yang sekitar Rp 43,3 triliun. Tapi kenaikannya sangat kecil, kurang dari 2 persen saja. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pemerintah belum cukup bertanggung jawab dalam masalah hak pendidikan yang berhubungan pula dengan adanya liberalisasi pendidikan di Indonesia.
Padahal 20 % tersebut di konstitusi merupakan suatu parameter perhatian pemerintah terhadap hak pendidikan. Bahkan dalam putusannnya Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan selama tidak memenuhi 20 % maka pemerintah masih melanggar konstitusi yang ada. Akibat tidak terpenuhi anggaran pendidikan tersebut, sebagai contoh di Sukabumi yang tidak terlalu jauh dari pusat pemerintahan, pada tahun 2007, 46 ribu orang lulusan Sekolah Dasar (SD) tidak dapat melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi hanya karena masalah biaya. Belum lagi pada tingkatan nasional angka yang putus sekolah masih cukup tingggi.

Rancangan undang-undang Badan Hukum Pendidikan pun disinyalir bermuatan konsep liberalisasi pendidikan di Indonesia. Hingga saat ini belum diselesaikannya karena dikuatirkan hanya menjadi penjelmaan lain dari BHMN. UU Sidiknas pun dianggap sebagai langkah awal pelegalan liberalisasi pendidikan di indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Syukron