Salam Ukhuwah, Jalin Silaturahim, Share Ilmu dan Saling Berbagi Informasi

Rabu, 04 Mei 2011

Liberalisasi Institusi Perguruan Tinggi

Liberalisasi Instansi Perguruan Tinggi

Pasca reformasi 1998, berbagai tuntutan perubahan menggema diseluruh nusantara। Kebebasan dan demokrasi menjadi mantra sakti yang didengungkan di penjuru negeri। Termasuk tuntutan adanya otonomi sebebas-bebasnya dalam pengembangan kurikulum bagi institusi pendidikan sebagai anti-tesis dari sentralistisnya kurikulum yang membawa kepentingan doktrinasi Orde Baru। Akhirnya, melalui pemberlakuan PP 60 Tahun 1999 dan PP 61 Tahun 1999, terbukalah secercah harapan adanya otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan di Perguruan Tinggi.

Akan tetapi, tenyata otonomi kampus tersebut yang seharusnya menjadikan kampus sebagai intitusi yang lebih bebas dan dapat diakses oleh seluruh elemen masyarakat tidak terwujud. Otonomi kampus yang diharapkan menjadi otonomi di bidang akademik disisipi agenda liberaliasasi pendidikan. Sehingga pendidikan yang sudah jelas dalam konstitusi UUD 1945 sebagai tanggung jawab Negara direduksi mengikuti kemauan pasar. Beban biaya penddidikan dialokasikan ke masyarakat. Status Perguruan Tinggi berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Karena peran Negara direduksi. Pendidikan menjadi komoditas yang dapat diperdagangkan. Untung rugi termasuk menjadi pertimbangan utama. Perguan Tinggi (PT) seakan-akan berpindah fungsi menjadi Perseroan Terbatas (PT). Hal tersebut terlihat mahalnya biaya pendidikan. Kenaikan biaya pendidikan tertjadi di seluruh Indonesia. Perguruan Tinggi berstastus BHMN menjadi. Termasuk Universitas Gadjah Mada (UGM).

Faktanya pasca berlakunya PP 153 Tahun 2000 yang menetapkan UGM bersatstus BHMN, kenaikan biaya terjadi secara signifikan di UGM. Sebeluam adanya satstus BHMN pada tahun 1998 untuk masuk UGM hanya membutuhkan biaya Rp. 250.000,00 padahal di puncak krisis ekonomi. Sekarang biaya minimal untuk masuk ke UGM Rp. 7.240.000, 00 yang terdiri dari SPP, BOP, dan SPMA minimal fakultas Hukum. Terjadi kenaikan sebanyak 28, 96 kali dari sebelum berstastus BHMN. Itupun untuk fakultas social. Untuk fakultas Kedokteran dengan biaya minimal Rp. 12.400.000,00, maka terjadi kenaikan sampai 49,6 kali dari biaya sebelum berstatus BHMN. Kenaikan biaya tersebut terjadi melalui beberapa cara dan tahapan. Mulai dari pengenaan SPMA yang semakin besar sampai kenaikan BOP yang terus memerus.

Hal tersebut tentu saja menimbulkan efek yang luar biasa. Bukan hanya dalam lingkup UGM tetapi lingkup nasional turut pula terpengaruh. Setidaknya ada beberapa akibat besar akibat kenaikan biaya tersebut. Pertama, tertutupnya akses masyarakat tidak mampu untuk dapat masuk ke UGM. Walaupun selama ini UGM menyediakana beasiswa tetapi beasiswa yang disediakan tidak sebanding dengan akibat dari pemberlakuan BHMN UGM. Selain itu, sistem online pendaftaran UM UGM yang menyeluruh semakin menutup kemungkianan bagi siswa tidak mampu untuk mengakses pendidikan kareana untuk memperoleh SPMA (Rp,0,00) cukup sulit diakses. Hal ini pun berlaku di universitas lain. Terutama di perguruan tinggi yang menjadi pilot project di Indonesia yang diotomi. Seperti Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Sumatra Utara (USU).
Kedua, terhambatnya mobilitas vertical sosial masyarakat. Pendidikan selama ini mempunyai peran sebagai sarana untuk meningkatkan status ekonomi masyarakat. Akan tetapi, akses pendidikan yang tertutup bagi mayarakat tidak mampu menyebabkan masyarakat tetap terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan.
Ketiga, bergesernya fungsi perguruan tinggi menjadi penyedia tenaga kerja. Melalui sistem pendidikan yang mahal, peserta didik terjebak dalam sistem yang memaksa untuk cepat lulus dan menutup modal yang dikeluarkan selama kuliah. Sistem tersebutlah yang dikehendaki oleh jerat koorporasi global sehinga perguruan tinggi bukan lagi menjadi sarana pengembangan intelektual melainkan penghasil tenaga kerja untuk kepentingan dan kelangsungan kapitalisme global. Kepekaan terhadap realitas sosial menjadi terabaikan. Hasilnya, bangsa ini kehilangan Advokat yang mau membela kaum miskin. Kita kehilangan dokter-dokter yang mau terjun ke bantaran kali code atau pelosok daerah kumuh Jakarta.

Keempat, Pada akhirnya bangsa ini kehilangan negarawan yang mau mengorban dirinya untuk kepentingan rakyat karena sistem komersil yang membentuk dirinya. Logika yang terbangun di generasi muda Indonesia semakin terjebak pada logika pasar yang mengutamakan untung rugi. Padahal, bila kita tilik sejarah mulai dari perubahan di Kuba oleh Che Guevara dan Fidel Castro, Revolusi di Indonesia oleh Hatta, Syarir, Soekarno, dan pejuang lain sampai Revolusi Islam di Iran oleh Khomeni dan Ali Syariati, semua merupakan kaum intelektual terdidik yang kritis terhadap kondisi bangsa. Bahkan, Pendidikan di letakkan dalam prioritas utama untuk kemajuan di banyak Negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Syukron