Salam Ukhuwah, Jalin Silaturahim, Share Ilmu dan Saling Berbagi Informasi

Minggu, 01 Mei 2011

Analisis Ekonomi; Esensi Subsidi dan Kenaikan Harga BBM

Di tengah ketiadaan program kompensasi subsidi yang benar-benar memadai dan terencana matang, keputusan menaikkan harga bahan bakar minyak telah digulirkan. Sehingga timbullah opini dalam bentuk interpelai pro-kontra.Tak tanggung-tanggung, besaran kenaikan yang direncanakan diperkirakan rata-rata mencapai 30 %, dan itu sudah terjadi sekarang. Suatu besaran yang niscaya akan makin menyesakkan napas ekonomi masyarakat lapis bawah.

Secara kuantitatif, dari hasil simulasi, tambahan orang miskin baru yang bisa mencapai 19 juta jiwa lebih (sehingga total orang miskin mencapai 56 juta jiwa), tambahan pengangguran terbuka baru yang bisa mencapai 18 juta jiwa (sehingga total penganggur terbuka mencapai 29juta lebih), dan tambahan kenaikan harga barang hingga 26,94% adalah beberapa indikator makro yang menunjukkan betapa bisa sedemikian dahsyatnya implikasi kenaikan harga BBM terhadap ekonomi masyarakat jika tanpa diimbangi dengan kompensasi yang memadai.

Program bantuan langsung tunai (BLT), yang dapat dikatakan merupakan program kompensasi utama pemerintah, rasanya tak akan mampu secara efektif mengatasi dahsyatnya dampak tersebut. Bukan saja karena secara konsep BLT yang berlaku temporer, tapi memang tak mungkin bisa menanggulangi pengangguran dan kemiskinan. Yang ada hanya untuk menutupi hutang negara. Bukan pula hanya karena besarannya yang sangat mungkin memang tak mencukupi. Namun, lebih sederhana dari itu semua, yaitu hanya karena data yang akan digunakan untuk penyaluran BLT disinyalir masih sama dengan data BLT tahun 2005 lalu. Padahal, kita tahu bahwa salah satu penyebab utama kacau-balaunya implementasi penyaluran BLT tahun 2005 adalah karena digunakannya data yang tidak akurat (tidak valid).

Akar masalah subsidi BBM sebenarnya adalah rendahnya daya beli sebagian besar masyarakat. Hakikat masalah subsidi BBM di Tanah Air sebenarnya tidak lain adalah masalah kemiskinan itu sendiri. Jadi ada korelasinya antara subsidi BBM dengan kebutuhan masyarakat tidak kompatibel.

Masalah ini dan solusinya sebenarnya sudah lebih dari satu dekade dipahami betul oleh pemerintah, khususnya otoritas sektor energi, yaitu bahwa adalah salah ketika kita menyubsidi harga produk (BBM), dan bahwa yang benar adalah ketika kita menyubsidi orang (yang berhak menerima) secara langsung. Substansinya adalah bagaimana bisa memberlakukan harga BBM yang tak lagi disubsidi, tetapi tetap bisa memberikan subsidi (dalam bentuk jaminan sosial atau pemberdayaan ekonomi yang berkelanjutan, misalnya) yang memadai kepada masyarakat yang benar-benar membutuhkannya secara tepat sasaran.

Kartu identitas subsidi

Bentuk konkritnya yang ideal barangkali adalah bahwa semua orang miskin di Indonesia semestinya mempunyai apa yang bisa kita namakan sebagai kartu identitas subsidi (KIS), lengkap dengan nomor kependudukan dan identitas lain yang tidak bisa dipindahtangankan. Dengan KIS, pemegangnya berhak mendapatkan biaya kesehatan, pendidikan, bahan-bahan pokok, dan transportasi dengan harga murah ataupun jaminan sosial dan pemberdayaan ekonomi lainnya sehingga daya belinya terangkat. Ini serupa dengan kartu jaminan sosial (social security number) yang ada di negara-negara maju dan berkembang.

Memang tak mudah dan pasti akan ada penyimpangan dalam tahap awal pelaksanaannya. Namun, inilah sesungguhnya sesuatu yang sangat prinsipil dan harus ada yang dibangun secepatnya dan disempurnakan terus-menerus.
Sayangnya, kewajiban untuk membangun suatu sistem subsidi langsung yang komprehensif dan baku seperti inilah yang selama satu dekade terakhir ini tak pernah ditunaikan secara tuntas oleh pemerintah. Artinya pemeliharaannya belum efektif atas realisasi subsidi tsb.

Skenario pengembangan energi alternatif yang benar-benar terencana, spesifik, dan terukur juga sulit dijumpai bentuk konkritnya. Yang muncul justru langkah-langkah dan kebijakan yang dapat dikatakan terlalu ”kreatif” dan instan, seperti konversi minyak tanah ke elpiji yang cenderung dipaksakan ataupun kartu kendali (smart card) yang diberlakukan sejak akhir tahun 2008 lalu.

Kalau hanya itu yang dilakukan, kenaikan harga BBM 30% tsb tak akan banyak membantu menyelesaikan akar permasalahan yang sesungguhnya. Kenaikan itu hanya akan memperpanjang napas APBN-P hingga di kisaran harga minyak 130 dollar per barrel, tetapi dengan ongkos makin terpuruknya kehidupan ekonomi masyarakat.

Sesudah itu? Ketika harga minyak lebih tinggi lagi, kenaikan harga BBM dengan ongkos yang sama dapat berulang dan berulang lagi. Tak semestinya kondisi ini dibiarkan terjadi dan tak sepatutnya kenaikan harga BBM hanya (selalu) dijadikan jalan keluar termudah dan tercepat untuk membagi beban anggaran ke masyarakat ekonomi lemah.

Kenaikan harga BBM, peningkatan daya beli masyarakat ekonomi lemah, dan pengembangan energi alternatif adalah satu paket solusi yang harus selalu berjalan beriringan. Maka, jadikanlah krisis energi yang sudah berulang kali terjadi ini sebagai momentum untuk benar-benar berubah. Kalau tak ingin didera masalah subsidi BBM yang terus berkepanjangan, kini tiba saatnya bagi pemerintah unjuk kerja, bukan unjuk wacana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Syukron