Salam Ukhuwah, Jalin Silaturahim, Share Ilmu dan Saling Berbagi Informasi

Senin, 09 Mei 2011

Feminisme dan Isu Gender

The feminists wish to abolish the very characteristics which make human beings human and undermine the foundation of all their relationships and social ties. The result will be suicide, not only of a single nation as in the past, but of the entire human raceMaryam Jameelah

35 tahun silam, pada tahun 1970, sebuah acara mewah meriah di Royal Albert Hall, London. Tiba-tiba berubah menjadi huru-hara. Sang pembawa acara, Bob Hope, disemproti tinta, dilempari bom tepung, tomat, dan telur busuk. Hadirin panik, dewan juri melarikan diri keluar, para kontestan menangis, sementara gerombolan demonstran mengamuk sambil meneriakkan yel-yel, “Kami tidak cantik jelita. Tidak pula jelek. Kami marah! (We’re not beautiful, we’re not ugly. We are angry!)” Protes keras terhadap kontes Miss World Beauty itu dilakukan oleh sejumlah aktivis wanita yang bergabung dalam Gerakan Pembebasan Perempuan alias Women Liberation Movement. Bagi mereka, perhelatan itu tak ubahnya ibarat ‘pasar hewan’.

Disini akan dikupas secara ringkas asal-usul feminisme dan gagasan-gagasan pokok gerakan emansipasi wanita di Barat serta imbasnya di dunia Islam serta bagaimana perspektif Islam dalam hal ini.

Dari Misogini ke Emansipasi
Memang tak dapat dimungkiri, gerakan feminis di Barat merupakan respons dan reakasi terhadap situasi dan kondisi kehidupan masyarakat disana, terutama yang menyangkut nasib dan peran kaum wanita. Salah satu penyebabnya ialah pandangan ‘sebelah mata’ terhadap perempuan (misogyny) dan berbagai macam anggapan buruk (stereotype) serta citra negatif yang dilekatkan kepada mereka. Semua itu bahkan telah menjewantah dalam tata-nilai masyarakat, kebudaayaan, hukum dan politik.

Bagi tokoh-tokoh seperti Plato dan Aristoteles di zaman pra-Kristen, diikuti oleh St. Clement dari Alexandria, St. Agustinus dan St. Thomas Aquinas pada Abad Pertengahan, hingga John Locke, Rousseau dan Nietzsche di awal abad modern, citra dan kedudukan perempuan memang tidak pernah dianggap setara dengan laki-laki. Wanita disamakan dengan budak (hamba sahaya) dan anak-anak, dianggap lemah fisik maupun akalnya. Paderi-paderi gereja menuding perempuan sebagai sumber malapetaka dan pembawa sial, biang keladi kejatuhan Adam dari surga. Ditujukan kepada perempuan, tercatat ungkapan Tertulian, “Tidakkah engkau menyadari bahwa engkaulah si Hawa itu? Kutukan yang dijatuhkanTuhan kepada kaum sejenismu akan terus memberatkan dunia. Karena bersalah maka engkau mesti menanggung derita. Engkau adalah pintu masuknya setan.”

Dalam pandangan St. Jerome, wanita adalah akar dari segala kejahatan (the root of all evil). Penilaian serupa dinyatakan St. John Chrysostom, “Tidak ada gunanya laki-laki menikah. Toh, perempuan itu tidak lain dan tidak lebih merupakan lawan dari persahabatan, hukuman yang tak terelakkan, kejahatan yang diperlukan, godaan alami, musuh dalam selimut, gangguan yang menyenangkan, ketimpangan tabiat, yang dipoles dengan warna-warna indah.” Tokoh sesudahnya, St. Augustine, bahkan menganggap hubungan intim antara suami isteri sebagai perbuatan kotor. St. Albertus Magnus menguatkan: Perempuan adalah laki-laki yang cacat sejak awalnya, serba kurang dibanding laki-laki. Makhluk yang tidak pernah yakin pada dirinya sendiri dan cenderung melakukan berbagai cara demi mencapai keinginannya, dengan berdusta dan tipu muslihat ala iblis. Perempuan tidak cerdas, namun licik, seperti ular berbisa dan setan bertanduk. Jika rasio menuntun laki-laki kepada kebaikan, emosi menyeret perempuan kepada kejahatan. Demikian pula St. Thomas Aquinas yang menyamakan perempuan dengan anak-anak, secara fisik maupun mental. Wajarlah jika kemudian peran wanita dibatasi dalam lingkup rumah tangga saja. Perempuan tidak dibenarkan ikut campur dalam urusan laki-laki.

Kaum feminis di Barat umumnya menganggap Mary Wollstonecraft (1759-1797) sebagai nenek moyang mereka. Lewat tulisannya yang sangat terkenal, A Vindication of the Rights of Woman (di cetak pertama kali di London pada 1792), ia mengecam berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan, menuntut persamaan hak bagi perempuan baik dalam pendidikan maupun politik. Perempuan harus dibolehkan bersekolah dan memberikan suaranya dalam pemilihan umum (suffrage). Wanita tidak boleh lagi menjadi burung di dalam sangkar. Mereka mesti dibebaskan dari kurungan rumah tangga dan penjara-penjara lainnya. Menurutnya, berbagai kelemahan yang terdapat pada wanita lebih disebabkan oleh faktor lingkungan, bukan ‘dari sono-nya’. Laki-laki pun, kalau tidak berpendidikan dan diperlakukan seperti perempuan, akan bersifat dan bernasib sama, lemah dan tertinggal, ujarnya.

Gebrakan Mary menggema ke seantero Eropa dan Amerika. Tercatat tokoh-tokoh semisal Clara Zetkin (1857-1933) di Jerman, Helene Brion (1882-1962) di Prancis (penulis selebaran La voie feministe dengan subjudulnya yang terkenal, “Femme: ose etre!” (Hai perempuan, beranilah menjadi diri sendiri), Anna Kuliscioff (1854-1925) di Italia (pendiri liga wanita dan jurnal La Difesa delle Lavoratrici), Carmen de Burgos ‘Clomobine’ (1878-1932) di Spanyol, Alexandra Kollontai (1873-1952) di Russia, dan Victoria Claflin Woodhull (1838-1927), wanita Amerika pertama yang mencalonkan diri sebagai Presiden pada 1872.

Selain hak pendidikan dan politik, para aktivis perempuan itu juga menuntut reformasi hukum dan undang-undang negara supaya lebih adil dan tidak merugikan perempuan. Di lingkungan kerja, mereka mendesak supaya pembayaran gaji, pembagian kerja, penugasan dan segala macam pembedaan atas pertimbangan jenis kelamin (gender-based differentiation) dihapuskan sama sekali. Karyawan tidak boleh dibedakan dengan karyawati. Semuanya harus diberikan peluang, perlakuan, dan penghargaan yang sama. Pemerintah diminta mendirikan tempat-tempat penitipan dan pengasuhan anak. Agenda emansipasi berikutnya adalah bagaimana membebaskan kaum wanita dari ‘penjara kesadaran’ nya, mengingatkan wanita bahwa mereka tengah berada dalam cengkeraman kaum lelaki, bahwa mereka hidup dalam dunia yang dikuasai laki-laki (male-dominated world). Konon hanya dengan cara ini perempuan dapat membebaskan dirinya dari segala bentuk opresi, eksploitasi, dan subordinasi.

Namun pada beberapa dasawarsa terakhir, gerakan feminis di Barat kelihatan mengalami stigmatisasi dan tampak seperti ‘kena batunya’. Muncul feminis-feminis radikal yang bersikap anti laki-laki, mengutuk sistem patriarki, mencemooh perkawinan, menghalalkan aborsi, merayakan lesbianisme dan revolusi seks, justru menodai reputasi gerakan itu. Bagi para feminis radikal, menjadi seorang isteri sama saja dengan disandera. Tinggal bersama suami dianggap sama dengan living with the enemy.

Reaksi tajam terhadap radikalisasi feminis dari banyak kalangan. Simaklah komentar Pat Robertson, mantan calon Presiden Amerika. Para feminis itu kerjanya Cuma ‘mengompori’ wanita agar meninggalkan suami dan membunuh anak-anak mereka sendiri, mengamalkan perdukunan, menjadi lesbian dan merontokkan kapitalisme (“Feminists encourage women to leave their husbands, kill their children, practise witchcraft, become lesbians and destroy Capitalism”). Penulis terkenal, Susan Jane Gilman pun menyatakan kesan serupa. Banyak kaum wanita sekarang ini, keluhnya, menganggap feminisme tidak ketahuan ‘juntrungan’nya dan tidak jelas apa maunya. Sementara kalangan lain menilai wacana feminisme itu elitis, filosofis, ketinggalan zaman, kekanak-kanakkan, dan tidak relevan lagi (“For women today, feminism is often perceived as dreary. As elitist, academic, Victorian, whiny and passe”).

Gerkan feminisme juga disalahkan karena dianggap telah mengebiri laki-laki, menyuburkan pergaulan sesama jenis, dan mengubah perempuan menjadi makhluk-makhluk yang gila karier, hidup dalam kesepian, balik ke rumah hanya untuk memberi makan kucing dan anjing. Diakui atau tidak, emansipasi wanita di Barat memang terbukti telah merusak sendi-sendi masyarakat dan menghancurkan nilai-nilai keluarga. Negara-negara maju seperti Jerman, Belanda, Jepang, dan Singapura kini tengah berupaya mengatasi apa yang mereka sebut sebagai krisis demografis. Sebuah laporan kependudukan PBB memperkirakan pada tahun 2030 daratan Eropa akan kehilangan sekitar 41 juta penduduknya, meskipun terus kedatangan imigran.[1]


Banyaknya wanita yang mencegah kehamilan dan menggugurkan kandungan dipastikan akan berdampak sangat buruk bagi masa depan negara-negara yang bersangkutan. Menurut laporan majalah Stern (no. 27, edisi 28 Juni 2005), jika dalam kurun waktu 50 tahun angka kelahiran selalu lebih kecil dari angka kematian seperti sekarang ini, maka pada tahun 2060 populasi Jerman diprediksi akan didominasi oleh generasi tua jompo; negeri itu kelak menjadi Land ohne Kinder.

Barangakali karena terlalu radikalnya dan melampaui batas-batas kewajaran yang umum, gerakan feminis di Barat berangsur-angsur surut dan kini nyaris tinggal wacana. Tampak telah terjadi semacam kejenuhan dan keresahan, timbul semacam rasa bersalah karena melawan naluri dan mengingkari kodrat diri sendiri. Akibatnya muncullah gerakan anti-tesis yang menyeru kaum wanita agar kembali ke pangkal jalan. Sebut saja umpamanya Erin Patria Pizzey (penulis buku Prone to Violance), Caitlin Flanagan (kolumnis tetap the Anlantic Monthly), Iris Krasnow (penulis buku Surrendering to Motherhood), dan mantan pengacara F. Carolyn Graglia (penulis buku Domestic Tranquility). Mereka ini dapat dikatakan mewakili arus balik yang menentang feminisme. Demikian pula Lydia Sherman and Jennie Chancey yang mendirikan yayasan Ladies Againts Feminism (LAF).

Menurut hemat mereka, gerakan feminis hanya akan menyengsarakan kaum wanita. Relasi gender tidak harus dipahami sebagai perseteruan dan pertarungan antar kelompok (class struggle) dengan saling me-negasi-kan dan berebut posisi, melainkan dalam perspektif kerjasama dan hubungan timbal balik, dalam arti saling menopang dan bahu-membahu membangun keluarga, bangsa dan negara, saling melengkapi, saling mengisi, dan saling menghargai satu sama lain.

Referensi:
Buku "Orientalis dan Diabolisme Pemikiran" DR. Syarifuddin Arif.



[1] Miwa Suzuki, “Dolls Give Japanese Elders a New Lease on Life,” The Age (Australia), 24 Februari 2005; Mark Steyn, “My Virility Doesn’t Matter –the EU’s Does,” Telegraph (London), 28 Juni 2005; Stefan Theil, “Into the woods,” Newsweek, 4 Juli 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Syukron