Salam Ukhuwah, Jalin Silaturahim, Share Ilmu dan Saling Berbagi Informasi

Rabu, 04 Mei 2011

Sektor Arus Neoliberalisme

Arus Neoliberalisme di Segala Bidang
Liberalisasi di segala bidang seakan menjadi mainstream di dunia untuk menuju modernitas. Liberalisasi dianggap sebagai suatu konsepsi yang dianggap dapat membangun negara menjadi negara modern dengan keterbukaan di segala bidang. Melalui liberalisasi, berbagai akses dianggap terbuka dan mendorong adanya kebebasan bagi setiap orang untuk berusaha mengakumulasi modal dari berbagai sektor kehidupan. Terlebih konsep liberalisasi saat ini merupakan aplikasi dari konsep neoliberalisme yang dianggap sebagai penyempurnaan dari konsep klasik gaya Adam Smith pasca perang dingin. Dimulai dengan kebijakan Margaret Teacher di Inggris, kebijakan dengan basis neoliberalisme tumbuh subur di dunia.

Melalui liberalisasi yang menjadi kendaraan bagi kapitalisme diharapkan tercipta sebuah persaingan bebas tanpa banyak campur tangan negara dimana setiap orang bersaing dalam akumulasi kapital. Melalui konsep neoliberalisme, sebuah jalan baru liberalisasi diharapkan terbentuk sehingga perusahaan bebas bergerak di setiap lini bahkan lini publik sekalipun. Bahkan menurut Friedman sistem pasar merupakan dasar dari tatanan yang murni bebas sebab kebebasan ekonomi merupakan syarat esensial bagi kebebasan politik (seperti dikutip Held, 1995 : 243). Hasilnya, berbagai kalangan elit negara menganggap liberalisasi merupakan jalan untuk mewujudkan pertumbuhan investasi positif di suatu negara.

Dipimpin tiga institusi yang dijuluki oleh gerakan anti globalisasi sebagai tiga setan dunia yaitu Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) aplikasi konsepsi neoliberalisme diwujudkan. Akibatnya, di berbagai belahan dunia, terutama bagi negara yang tergantung dengan institusi tersebut, kebijakan yang dikeluarkan oleh elit pro dengan konsepsi liberalisasi di segala bidang. Salah satu dampaknya adalah privatisasi sektor publik di berbagai negara berkembang.

Privatisasi air yang terjadi di Filipina merupakan fakta nyata liberalisasi yang merambah ke sektor publik. Privatisasi tersebut merupakan salah satu persyaratan IMF dan Bank Dunia untuk memberikan pinjaman ke negara tersebut. Pelayanan air yang diserahkan pada Ondeo/Suez Lyonnaise des Eaux pada awalnya memberikan dampak positif dengan dibangunnya jaringan untuk satu juta pelanggan pada 1997-2003. Akan tetapi, ternyata harga naik sampai 425 %, sehingga kaum miskin tidak dapat mengakses pelayanan air tersebut. Kebocoran pun lebih tinggi saat harga dinaikkan. Pada Desember 2002, pelayanan air dihentikan di barat Metro Manila sehingga 6,5 Juta masyarakat tidak dapat mengakses air. Lebih parah lagi, perusahaan tersebut menuntut ganti rugi kepada pemerintah sebanyak 303 juta dollar AS kepada pemerintah Filipina.

Hal yang tidak jauh berbeda pun terjadi di Cochabamba, Bolivia, privatisasi air yang dipelopori Bank Dunia berakhir dengan kerusuhan karena harga naik. Di Afrika Selatan, privatisasi air minum berakibat pengurangan pasokan bagi rakyat miskin. Hal tersebut menyebabkan epedemik kolera di Kwazulu, Natal, pada Oktober 2000. Indonesia pun terkena dampaknya. Sekitar 2,73 miliar air dikuasai oleh dua perusahaan yang sahamnya di pegang oleh asing, yaitu Aqua (Grup Danone) dan Ades (coca-cola Company). PDAM sebagai institusi milik negara pun tidak luput dari swastanisasi. Ketika perusahaan tersebut tidak mampu membayar utang maka swastanisasi proyek menjadi jalan yang ditempuh.

Proses bisnis sektor publik air dan pangan bernilai memang milyaran dolar. Tetapi ternyata di sisi lain, 2,8 milyar orang hidup dengan biaya kurang dari 2 dollar AS sehari dan 1,2 milyar orang hidup dengan kurang dari 1 dollar AS sehari. Sekitar 840 Juta orang kelaparan di seluruh dunia. 1,1, milyar orang tidak mendapatkan akses pada air bersih.

Sementara itu, suatu laporan kritis menyimpulakan negara-negara yang menerapkan program penyesuaian struktural dengan ketat sesuai konsep ekonomi neoliberaisme mengalami kinerja ekonomi, dengan peningkatan – (minus) 0,53 %, yang lebih longgar tumbuh + (plus) 2 %. Sedangkan yang tidak menjalankan program penyesuaian + (plus) 3,5 % per tahun (Abrahamsen, 2002 : 148).

Di sisi lain, kondisi kemiskinan semakin buruk. Pada tahun 1990-an, dengan melihat garis kemiskinan ekstrim dengan konsumsi 1 dollar AS sehari, kurang lebih 33 % penduduk dunia di negara berkembang mengalami kesengsaraan. Anehnya, pada tahun 2001, Merril Lynch mengungkapkan bahwa orang-orang yang mempunyai aset sekurang-kurangnya 1 juta dollar AS meningkat empat kali lipat antara tahun 1986-2000. Artinya orang kaya tetap semakin kaya dan yang miskin semakin banyak pula. Jurang sosial menjadi sesuatu yang tidak terelakkan.

Keadaan semakin parah ketika saat ini dengan dimasukkannya pendidikan menjadi komoditas yang dapat di liberalisasi. Liberalisasi di segala bidang termasuk pendidikan saat ini semakin menguat disokong oleh globalisasi yang menurut kaum hiperglobalisasi menjadikan lingkungan ekonomi tanpa batas (economic borderless) dan menempatkan pemerintah nasional tidak lebih dari transmission belts bagi Kapital global (David Held, dkk, 1992: 2). Artinya tanggung jawab pemerintah dalam pendidikan direduksi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Syukron